Sabtu, 18 Mei 2019

Operasi


Kamis pagi 28 Maret 2019. Aku harus puasa sejak subuh untuk persiapan operasi hari ini. Tapi sebetulnya sih makan dan minum terakhir ya malam sebelum tidur. Aku tidak biasa sarapan pagi-pagi.

Kusiapkan beberapa baju ganti dan kain yang kira-kira akan dipakai nanti kalau nginep di RS. Paling kan biasanya 3 hari. Biar nanti Kk yang packing. Dia sudah nyiapin carrier dan matras buat alas tidurnya ketika nanti nemenin aku di RS. Kusiapkan juga sebuah bantal boneka buat dibawa.

Aku juga nyiapin teh buat diantar ke tempat Poci di depan SMK Telkom. Nanti pas aku dan Kk berangkat, bisa sekalian kami bawa.

Begitulah, setengah sembilan pagi, aku dan Kk berangkat naik motor menuju RS.
Terus terang, sebetulnya perasaanku seolah masih di awang-awang. Aku masih tidak pasti apakah aku betul-betul mau melakukan operasi ini. Rasa takut itu masih ada.

Tanpa memahami kegundahan hatiku, petugas RS langsung menanganiku sesuai prosedur persiapan operasi ketika aku dan Kk mendaftar ke IGD dan menyerahkan hasil foto rontgen di Lab luar kemarin.
“Mari bu, silahkan ibu berbaring di sini, dan pakaiannya dilepas ya....” seorang petugas (entah perawat atau bukan, sebab tidak pakai seragam) mengantarku ke sebuah ranjang periksa yang hanya berbatas tirai sambil menyerahkan sepotong baju atasan RS warna hijau.

Kulepas baju atasan dan bra, kemudian berganti baju RS tadi, dan berbaring berselimutkan kain yang ada di ranjang.

Tidak lama petugas laki-laki datang akan memasang infus di lengan kiriku. Aduuuh...., aku mencoba mengingat-ingat bagaimana rasanya dulu ketika jarum infus masuk ke lenganku waktu akan melahirkan Ndiek.

“Mau operasi jam 11.00 ya bu...., maaf, saya pasang infus dulu ya...” katanya.  Aku mengangguk.
Pertama dicoblosnya punggung tanganku dengan jarum, dan dimasuki dengan jarum yang lebih panjang. Tapi kemudian ditahan dan dibongkar lagi, bekas lubang jarum ditekannya dengan sangat kuat.
“Maaf, saya pindah ke pergelangan tangan saja ya bu. Yang di punggung sepertinya terlalu halus, uratnya pecah. “ kata petugas itu. Sekali lagi aku hanya sanggup mengangguk. Pikiranku masih belum mantab.

Sempat ditanya juga sama petugas aku alergi apa. Kubilang dulu sih sepertinya pernah alergi obat, tapi lupa obat apa. 

Waktu kuliah dulu, aku pernah sakit. Terus, sama mas Ary yang Mahasiswa Kedokteran, aku dikasih obat. Ternyata beberapa hari kemudian seluruh persendian jari-jari tanganku bentol-bentol gatal, dan aku dikasih incidal. Saat itu dikasih tahu kalau aku alergi obat titik-titik itu, disuruh ingat-ingat sih..., tapi ya namanya lupa masak boleh disalahin?

Mas Ary ini kakaknya mas Tomy, kakak kelasku di FISIP Unair yang sudah seperti kakakku sendiri. Tiap nunggu jam kuliah, biasanya aku nunggu di rumahnya yang memang tidak jauh dari kampusku. Mereka tinggal di Perumahan Dosen di dalam Kampus B.

Mendengar aku ada alergi obat, petugas RS-nya kemudian menyuntikkan sesuatu di lengan kiriku. Untuk test alergi. Kulihat reaksi obat itu berbuih seperti mendidih membentuk gelembung (busa) kecil-kecil. Rasanya seperti serrrrr....

Selain itu aku sepertinya juga alergi kepiting, sebab setiap kesenggol daging kepiting sedikit saja, perutku seperti diaduk-aduk.

Terus aku dikasih gelang satu lagi di tangan kananku. Tadinya sudah ada dua gelang, sekarang jadi ada tiga dan warna-warni. Sayang aku lupa motretnya. Lumayan buat ganti sekumpulan aksesories gelang batu yang biasa kupakai dan terpaksa harus dilepas karena mau operasi ini.

Sambil menunggu itu kucoba berdoa dan ingat kata-kata ibuku kalau aku harus memantabkan hati dan pasrah sama Allah. Berharap semoga semuanya lancar.
Selama itu Kk yang mondar-mandir menyiapkan semua urusan yang diminta. Mulai surat-surat , beli popok di apotek, sampai kain untuk kubawa ke kamar operasi.

Tiba-tiba adikku Dodi datang, “Jam berapa jadwalnya?” tanyanya.
“Katanya sih jam 11.00 nanti. Tapi ya nggak tau lagi, soalnya kudengar hari ini dokternya operasi 5 atau 7 orang gitu lho...”  jawabku.
“Ya sebentar lagi...” kata adikku sambil melihat arlojinya.

Kemudian datang perawat yang sepertinya sedang hamil dan memeriksa selang infusku.
“Ibu pindah ke ruang operasi ya..., dan maaf tolong ditunggu di luar ya...” katanya pada Kk dan adikku sambil membuka selimutku.
“Lho, koq celananya belum dibuka? Berarti belum cukur bu?” katanya lagi begitu melihat di bawah selimut itu aku masih memakai celana panjangku.
Aku disuruh membuka celana panjang termasuk CD-ku dan berbaring untuk ‘diurusnya’.
“Nanti pemati rasa dilakukan dari pinggang ke bawah ya bu..” katanya. Sebetulnya aku pingin bilang kalau aku mau dibius total saja, tapi tidak sebuah katapun keluar dari bibirku.

Setelah selesai, kain selimut tadi diikatkan dipinggangku dan seorang petugas laki-laki datang membawa kursi roda.

Sebendel surat-surat, popok, dan kainku ditaruh di sisi kursi rodaku.
“Bapak dan mbak-nya silahkan ditunggu di ruang ujung sana, saya akan masuk lewat sini...”  kata petugas yang mendorong kursi rodaku ke adikku dan Kk.

Akupun didorong masuk ke sebuah ruangan yang ternyata sudah ada dua ibu-ibu muda duduk di kursi roda sepertiku di sana.

“Nah, sudah sampai bu...., tunggu giliran ya..., silahkan buat group trio ya...” kata petugas yang mendorongku tadi dan kemudian meninggalkan aku di situ. Posisiku berada di belakang dua ibu-ibu itu.

Dua orang ibu-ibu itu menoleh dan tersenyum padaku. Mereka berdua tampak ngobrol seru. Sepertinya teman lama yang sedang reuni.
“Ibu operasi juga?” tanya salah seorang.
“Iya, myom...” jawabku, “Ibu?” sambungku bertanya.
“Saya cesar bu.” Jawab ibu di depan kiri.
“Kalau ibu, cesar juga?” tanyaku ke ibu di depan kanan.
“Iya bu, saya anak kedua.” Jawabnya.

Subhanallah. Aku sempat blank melihat pemandangan dua orang ibu-ibu di depanku ini. Mereka begitu santai, bercerita-cerita sambil tertawa-tawa. Padahal beberapa saat lagi akan melahirkan.

Beda banget dengan suasana di ruang bersalin tempatku dulu yang akan melahirkan secara normal, tidak operasi. Ada erangan-erangan tertahan menahan sakit. Termasuk aku sendiri yang tidak bisa berbaring enak dan terus menggeliat-geliat karena sakit. Aku berusaha setengah mati untuk tidak mengeluarkan kata-kata keluhan dan hanya berdo’a segala macam do’a yang sempat terlintas. Semua do’a.

Kira-kira seperempat jam kemudian ibu di kanan depan dibawa masuk. Tinggal aku berdua ibu-ibu di kiri depan.

“Saya akan cesar kedua kali bu, tapi sebetulnya ini anak ketiga. Yang pertama meninggal dalam kandungan bu...” katanya.
“Saya belum pernah operasi. Kedua anak saya lahir normal, dan sekarang sudah besar-besar...” kataku.

Tidak lama, terdengar tangis bayi dari dalam ruangan. Satu kehidupan baru telah hadir ke dunia ini.

Tidak sampai setengah jam kemudian, ibu inipun dibawa masuk. Dan seperti tadi, tidak lama kemudian terdengar tangis bayi dari dalam ruangan.

Hatiku benar-benar masih kacau, tapi bukan karena balon merahku habis meletus lho ya... Aku masih tetap belum merasa mantab dan takut. Tapi aku harus terus melakukannya, pikirku.

Saat itulah aku jadi ingat kalimat-kalimat bijak saat menonton Drama Korea. Katanya, berani itu bukan tidak takut. Tapi berani itu adalah tetap melanjutkan ketika perasaan tidak berani itu datang. Jadi aku harus berani. Kata di Drama Korea: Hwaiting!!

Tapiii..., tau nggak. Ruang tunggu giliran ini sungguh sepi.  Hanya ruang kosong kecil sekitar 3X3 meter tanpa tivi ataupun perabotan lainnya. Suasananya terkesan dingin. Dan aku seolah sedang menunggu giliran untuk dijatuhi hukuman. Hiii....

Tiba giliranku dibawa masuk. Aku disuruh naik keranjang operasi. Disuruh duduk sebentar dan ditembak bagian belakangku dua kali. Nggak tau sebelah mana. Dess dessss!!

Kemudian disuruh berbaring, dan diapasang kain pembatas di daerah dada.
“Coba kakinya diangkat bu..., yang tinggi...” kata petugas.
“Sudah...” kataku sambil mengangkat kedua kakiku.
“Coba diangkat lagi bu....”
Kucoba mengangkat kakiku lagi, tapi koq nggak mau terangkat. Malah mulai kerasa kesemutan. Aduuuh...., pingin dipindah posisinya nih kaki..., nggak enak banget kan kalau kesemutan.
“Tolong dong kaki saya diangkatin sebentar, dipindahin posisinya. Kesemutan nih...” kataku.
“Ya memang begitu rasanya kalau dibius bu...” jawab petugas.
“Iya..., tapi tolong pindahin dikit deh, geser dikit gitu..., ini nggak enak banget rasanya...” aku tetap ngeyel. Tapi petugasnya nggak mau nurutin.

Haduuuuh, ini adalah momen paling tidak nyaman selama episode dibius. Sungguh aku ingin bangun dan menggeser sedikit kakiku. Tapi aku tidak bisa bangun karena kedua tanganku direntangkan dan sepertinya diikat.

“Ibu kalau ngantuk tidur aja, jangan dilawan, nanti pusing.” Entah siapa yang ngomong itu. Seperti suara dari antah berantah.

Aku memang mau tidur. Siapa juga yang mau lihat dokter mengobrak-abrik perutku, pikirku. Maka akupun tidur. Lep. Tidak dengar ataupun ingat apapun. Kapan dokternya datangpun aku nggak tau.

Ketika kubuka mata, kedua tanganku bersidekap di perut. Bajuku sudah bukan baju RS lagi. Selimut yang dililitkan di bagian bawahku tadi sudah berganti Kain Bali yang kubawa dari rumah. Ruanganpun sudah berganti dari yang tadi. Tapi aku masih belum bisa menggerakkan kedua kakiku.

Tampak di sisiku juga ada sebuah ranjang yang lain. Aku mencoba menengok, dan kulihat ibu yang tadi di depan kiriku tersenyum padaku. Kubalas senyumnya.
Tidak ada kata-kata yang terucap diantara kami, karena aku juga tidak tahu harus ngomong apa. Otakku masih kosong. Masih mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. Sampai akhirnya ranjang si ibu tadi didorong ke tempat lain.

Tiba-tiba, dokter Luwang menghampiriku.
“Sudah selesai operasinya ya bu..., myom ibu sudah saya keluarkan. Gede lho bu..., segini...” katanya sambil membentuk bulatan dengan kedua tangannya.
“Cepat sembuh ya..., sekarang saya tinggal dulu...” katanya lagi. Aku masih juga tergugu. Tidak dapat berucap sepatah katapun. Ini mungkin yang disebut shock.
Ranjangkupun didorong ke tempat lain yang ternyata ke samping ibu tadi. Tapi perasaanku masih kacau balau dan kaki masih belum juga dapat digerakkan. Ada botol infus di sebelah kiriku. Kepalaku sih enteng.

“Bu, kita ke kamar ya sekarang...” akhirnya beberapa petugas dan perawat menghampri ranjangku. Mendorongku keluar dari ruang eksekusi ini.

Keluar dari lift, aku melihat Ndiek yang sepertinya sedang memastikan apakah yang sedang dilihatnya saat itu adalah mamienya.

Sampai di kamar, aku dipindahkan ke ranjang dan kedua kakiku masih belum dapat digerakkan. Sepintas kulihat ada Kk, Ndiek, adikku, dan suamiku. Tapi aku pingin tidur, belum pingin ngobrol. Jadi akupun tidur.

Bangun tidur, adikku sudah pulang. Sudah lewat maghrib ternyata.
Nggak lama kemudian suamiku pulang bawa motor Kk dan ngurusin rumah. Kk dan Ndiek yang bakalan campink di RS nemenin aku.

“Mamie pingin miring dong, punggungnya nggak enak nih...” kataku.
“Nggak boleh mie...” kata Ndiek.
“Boleh. Ayo kak, tolong pasang bantal di punggung mamie, mamie mau miring...” kataku. Kakiku masih belum bisa digerakkan, dan rupanya ada selang kateter yang dipasang. Aduh, ribet banget sih.

Dua orang anakku bingung. Antara mau nurutin maunya mamienya atau gimana.
Tiba-tiba perawat datang nganter obat.
“Suster, saya boleh miring kan?” tanyaku.
“Oh, boleh bu..., nggak apa-apa... Tetap bergerak seperti biasa nggak apa-apa...” jawabnya.

Baru deh Kk menaruh bantal boneka buat ganjal punggungku supaya aku bisa bertahan miring.

Ada jatah makan malam yang sudah disiapkan. Tapi siapa yang bisa makan di kondisi itu, sebab saat itu perutku sudah mulai terasa ngilu, ngilu, sakit, dan semakin sakiiit sekali... Setetes airpun tidak ingin kutelan.

Ketika selang infus di tanganku merah, Kk memencet bel memanggil perawat. Ternyata botol infusku sudah kosong. Diganti botol infus yang baru.
Kalau Cuma cairan infus yang dimasukkan ke tubuh sih nggak terasa apa-apa. Tapi ketika selang insusnya dimasukin obat, haduuuh...., itu baru terasa sakit.

“Suster, boleh minta pereda nyeri lagi dong..., ini perut saya sakit sekali...” kataku.
“Nggak boleh bu, sudah ada dosisnya yang diberikan tiap 8 jam sekali.” Jawabnya.
8 Jam sekali???!!! Astaghfirullah, bisa koít aku karena sakit.
“Kasih resepnya aja deh suster, biar ditebus sendiri sama anak saya ke apotek...” kataku lagi.
“Nggak ada ibu..., nanti sebentar lagi sudah reda koq sakitnya...” jawabnya.
“Ibu sudah buang angin belum?” tanyanya. Aku menggeleng. Males njawabnya. Orang minta pereda nyeri saja nggak boleh, pikirku.

Reda apanya?! Semakin lama sakitnya setengah mati. Haduuuuh, ini momen terparah setelah operasi. Sakitnya bukan main. Amit-amit banget aku nggak akan lagi mau operasi beginian. Kapok banget aku.

Sekitar jam 21.00 mbak Ririt, sobat Wanalaku datang dengan keponakannya. Aku jadi ingat ceritanya yang juga kesakitan waktu operasi serupa. Waktu itu dia sedang merayuku supaya mau operasi.

“Operasi itu memang sakit An, tapi ada obatnya koq buat ngatasi rasa sakit itu...” katanya.
“Mbak, obat apa yang kata mbak Ririt penghilang sakit itu..., kasih tau Rieke dong biar dia beli sendiri di apotek...” tanyaku.
“Sudahlah An, tahan sebentar. Ini aja sudah cukup koq...” jawabnya. Dan tetap nggak mau ngasih tahu biarpun aku tanya sampai berkali-kali.
Waaah, mbak Ririt ini nantang aku ya..., saking aku masih tidak berdaya. Coba aku sehat, kuajak gulat dia! Oh ya, kakiku sudah mulai bisa digerakkan.

Sekitar jam 02.00 atau 03.00 pagi, tiba-tiba perutku campur mulas, seperti ingin BAB.
“Kak, tolong anterin mamie ke toilet dong, kayaknya pingin BAB nih...”  kataku ke Kk yang sedang  kebagian jaga. Ndieknya lagi tidur. Tapi bangun juga begitu melihat aku turun dari ranjang berjalan ke toilet diantar Kk. Kk harus pegang botol infus dan kantong kateter.

Tapi sudah nongkrong lama sampai kesemutan di closet, tidak ada apapun yang keluar, bahkan sepotong kentutpun tidak.
“Bisa?” tanya Ndiek begitu aku dan Kk dari toilet.
“Nggak bisa. Nggak ada apa-apa yang keluar.” jawabku.
“Ya gimana ada sampahnya, orang mamie nggak mau makan apa-apa, minum aja nggak mau...” katanya. Aku cuma menggelengkan kepala. Siapa yang nafsu makan kondisi begini Dek...
Kuputus dulu ceritanya ya, biar nggak bosan.


Malang, 19 Mei 2019




Kamis, 02 Mei 2019

Operasi (pra-operasi)



Siapa sih yang nggak pernah dengar atau tidak tahu kata ‘operasi’ ?

Terlepas dari apapun artinya, dalam satu hari mungkin aku bisa mendengar atau membaca kata itu lebih dari satu kali. Yang artinya kata operasi itu bukanlah satu hal asing dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya operasi anggota bagian tubuh, atau operasi lalu-lintas, ataupun yang lainnya.

Tetapi ketika kata operasi itu merujuk pada diriku sendiri, berhubungan dengan tubuhku...., tiba-tiba saja aku merasa arti kata itu bisa menjadi sesuatu yang mengerikan. Iya, menakutkan! Karena kata operasi yang kumaksud kali ini adalah berhubungan dengan kesehatanku.

Alhamdulillah dalam setengah abad lebih hidupku ini, aku pernah ngamar (tidur) di RS itu hanya dua kali. Yaitu pada tahun 1994 waktu melahirkan Kakak di RS Adi Husada Surabaya dan tahun 2001 waktu melahirkan Ndiek di RS Karya Bhakti Bogor.

Kedua peristiwa itu murni karena melahirkan, bukan karena aku menderita suatu penyakit tertentu. Walaupun sempat juga ketika akan melahirkan Ndiek, aku pakai acara diinfus dan pasang oksigen segala, karena ketuban sudah pecah di rumah sedangkan saat itu belum waktunya buat Ndiek untuk lahir ke dunia... (maju 3 minggu dari perkiraan yang ditentukan).

Bukannya aku tidak percaya pada dunia kedokteran atau medis, bukan!

Aku percaya koq kalau pada saat ini dunia kedokteran sudah amat maju dengan segala macam penemuan medis terbaru. Semua sudah serba canggih dan tehnologi yang oke.

Hanya saja, aku tidak suka kalau itu harus berhubungan denganku. 
Sebab biasanya kalau aku sedang merasa tidak enak badan dan seperti akan kena flu misalnya, maka sebelum tidur malam ini, aku menggosok leherku dengan minyak kayu putih, kemudian membungkusnya dengan selendang supaya hangat. Setelah itu tidur. Tidak perlu minum obat apapun. Insya Allah besok bangun pagi aku nggak jadi sakit... Aku nggak suka obat.

Aku percaya dengan tidur cukup, maka tubuhku akan dapat merevitalisasi sendiri, mengobati sendiri..... (Itu, kata merevitalisasi sendiri bener nggak sih? Dulu sepertinya pernah baca begitu...)

Sekarang, tiba-tiba aku divonis eh didiagnosis harus operasi. OMG!! Sumprit aku takut!

Semuanya berawal ketika bulan Januari 2019 lalu aku main ke rumah seniorku Wanala di Blitar yang kebetulan adalah seorang Dokter Ahli Kandungan, mas dr. Didik Agus Gunawan SpOG.
“Dokter, tolong Aan ini diperiksa dong. Selama ini sering ngeluh sakit perut, tapi nggak pernah mau periksa...” kata mbak Herida.
“Ada Myom tuh An...” kata mas Didik waktu menyuruhku berbaring di tempat periksa. Wah, mas Didik sakti..., cuma lihat bentuk perutku saja sudah langsung tahu.
“Nih, diameter myomnya sudah 13,50 cm. Harusnya maximum 12 cm itu sudah diambil.” kata mas Didik sambil memperlihatkan layar monitor USG perutku.
“Harus dioperasi. Itu sudah gede dan takutnya berubah sifat.” Kata mas Didik.

Saat itu, semua yang dengar dan melihat hasil pemeriksaanku seolah ikut shock karena tiba-tiba ditemukan monster sebesar itu di dalam perutku.

Mereka ini adalah saudara sehobby dan senasib dalam kelompok Pecinta Alam Wanala Unair yang pernah kuikuti berpuluh tahun lalu ketika masih kuliah,  dan alhamdulillah kami masih terhubung sampai sekarang.

Mereka ini pula yang akhirnya hampir tiap hari mencerewetiku untuk segera menindak lanjuti hasil diagnosis mas Didik itu. Byuh!!

Ada yang bertanya, apa selama ini tidak pernah merasakan gejala apapun, sebab tidak mungkin myom itu secara tiba-tiba muncul sebesar itu.

Sungguh. Selama ini aku tidak pernah merasakan gejala sakit perut atau apapun yang ekstreem. Paling-paling kalau kurunut lagi ke belakang, mungkin ya terkadang ada rasa seperti sunduk’en (bahasa Jawa, aku nggak tau bahasa Indonesianya apa), celekit-celekit gitu. Suatu rasa sakit seperti kram perut saat kita habis makan atau minum, terus berlari/OR. Itu biasanya terasa di perut bawah kiri. Pernah sih, waktu masih tinggal di Bogor, perutku tiba-tiba kram begini sampai tidak bisa bangun saking sakitnya. Tapi itu cuma sekali dan sudah lama sekali. (Tidak kuhiraukan)

Selain itu, aku juga sudah agak lama tidak bisa tidur terlentang atau tengkurap terlalu lama karena kalau itu kulakukan, nanti rasanya tulang punggung bagian pinggang itu seperti rontok dan menempel ke ranjang. Sakit sekali. Jadi biasanya kalau tidur aku selalu miring. (Kupikir karena aku mulai tua, jadi tidak kuhiraukan)

Satu lagi, akhir-akhir ini aku  merasa perut bagian bawah tepat di bawah pusar, sering tiba-tiba terasa keras, kaku, mirip orang yang sedang hamil dan kontraksi. Kalau dipegang, seolah di dalam itu ada batunya. Tapi aku kan tidak sedang hamil. Haidku masih tetap lancar tiap bulan dengan kondisi derasnya agak berlebihan sih. (Tidak kuhiraukan, karena kupikir sedang bersih-bersih karena mau menaphause)

Ternyata yang tidak kuhiraukan-kuhiraukan itu tadi tidak terjadi pada orang lain. Hanya terjadi padaku. Kalau normal sih, harusnya aku mencurigai itu semua sebagai suatu hal yang tidak wajar. Ada sesuatu dalam tubuhku. Harusnya begitu.
Tapi kan selama ini aku mendiagnosis diriku sendiri bahwa tidak terjadi apa-apa dan tidak ada apa-apa dalam tubuhku. Jadi ya aku biasa saja.

Kalau sudah begini, aku jadi ingat kata-kata mbak Khurin, “ Diagnosis Dokter Fisip tidak dapat dipercaya!”
“Diagnosis Dokter Ekonomi tidak dapat dipercaya!”
“Diagnosis Dokter Hukum tidak dapat dipercaya!”
Hahahaaa...., itu semua gara-gara kami memberikan diagnosis pada kondisi kesehatan mbak Khurin sesuai dengan pengetahuan awam yang kami ketahui, waktu mbak Khurin menceritakan kondisi kesehatannya, padahal kami semua bukan Dokter.  Makanya mbak Khurin menyebutkan asal Fakultas kami masing-masing sebagai latar belakang ke-sotoy-an kami.....

Mbak Khurin, mbak Herida, mas Didik, Pratmi, Rini, Mas Anang, mas Ganis, mas Makhsus, Burhani, mbak Sawitri, adalah seniorku di Pecinta Alam yang kebetulan kali ini dapat berkumpul bersama dengan adik-adik (junior) seperti Agus dan Iis yang seangkatan denganku, kemudian ada Harjati, Widarti, Eka, Memes, Erna, Zindy, Ita. Kami berasal dari berbagai Fakultas dan Bidang Study, tapi di dalam wadah ini, kami semua seolah satu nafas, satu rasa, satu jiwa. Persaudaraan kami tiada batas. Itulah kekuatan yang kami banggakan sebagai Mantan Mahasiswa Pecinta Alam, Wanala Unair.

Okeee...., kita kembali ke laptop.

Sambil mengurus berbagai surat rujukan untuk operasi, aku berusaha menguatkan diri juga untuk berani melakukan operasi ini. Antara mau dan tidak masih sibuk berlomba dalam kepalaku. Berusaha saling mengalahkan.

Tapi kalau nggak operasi, ya serba salah sih. Karena sejak tahu kalau di dalam perutku ada monster sebesar itu, aku jadi agak mengurangi aktifitasku yang memang banyak di luar rumah. Jadi agak takut untuk bepergian jauh. Padahal tadinya mah aku bebas saja, mau loncat ke sana ke mari ya oke saja...

Ibuku sempat meminta supaya aku melakukan operasinya di Surabaya saja karena beliau ingin mengurusiku, katanya. ***Al Fatihah untuk Ibuku.

Biarpun aku sudah setua ini, sudah punya keluarga dan anak-anak sendiri, bagi ibuku, aku pasti tetap anaknya yang ingin diurusnya ketika sakit.... (Huhuhu....., pingin mewek nggak sih?)

Padahal kondisi ibuku saat ini tidaklah dapat dibilang bagus juga. Karena beliau pernah kena strooke ringan yang sampai sekarang kaki kanan dari lutut ke bawah tidak terasa (lumpuh). Begitu juga gula darahnya yang pernah melewati batas sehingga harus mengalami koma dan meninggalkan bekas kurang berfungsinya ginjal sebagai pengontrol cairan yang akibatnya perut ibuku agak membesar karena cairan yang gagal terbuang seluruhnya (harus disedot dalam jangka waktu tertentu).

Sementara bapakku sendiri, akhir-akhir ini kesehatannya juga mulai menurun. Mulai merasakan sakit di sana dan di sini yang selama ini mungkin juga tidak pernah dirasakannya.

Dengan kondisi ibu dan bapakku yang seperti itu, apa iya aku masih tega harus diurusi mereka berdua? Tapi kalau menolak langsung, aku juga nggak sanggup mengutarakannya.

Alhamdulillah, dokter Faskes pertamaku tidak dapat memberikan rujukan RS di Luar Kota Malang, jadi harus di RS di Malang. Maka inilah alasan yang kuberikan pada ibu dan bapakku supaya aku bisa operasi di Malang saja
“Ya sudah nggak apa-apa kamu operasi di Malang, tapi apa kamu sudah siap? Kalau sudah siap ya pasrahkan saja semuanya ke Allah..., nggak usah mikir yang lain.” kata ibuku.
“Insya Allah siap...” jawabku. Biar ibuku nggak khawatir.

Pertama kali ke RS Puri Bunda untuk periksa, aku ditemani suamiku dan mbak Herida. Tapi mereka nggak ikut masuk ke dalam.

“Selamat pagi bu..., ada yang bisa saya bantu? Ada keluhan apa?” sambut dokternya begitu melihatku masuk.
“Koq pagi dok? “ kataku. Orang saat itu sudah lewat jam 12.00 siang.
“Pagi sajalah kalau sama saya...., eh apa ibu nggak keberatan ya..., kanan kiri batu semua....” katanya.
Hehehe..., selalu begitu setiap perjumpaanku yang pertama dengan seseorang. Gelangku. Iya, gelangku yang selalu menarik perhatian mereka.
“Sebetulnya saya nggak punya keluhan dok, tapi hasil USG dari teman saya menyatakan kalau saya harus operasi...” jawabku sambil menyerahkan amplop foto USG dari mas Didik.
“Lho, teman ibu bisa USG?”
“Iya, teman saya, tepatnya senior saya di Pecinta Alam waktu kuliah dulu, adalah Dokter Kandungan...” jawabku.
“Wah, temannya ibu Dokter Kandungan, lha ibu sendiri Dokter apa?” tanyanya.
“Saya sih Dokteranda, dokter-dokteran...” jawabku.

Kesanku pada dokter ini adalah ramah dan suka bercanda. Entah semua itu keluar dari dalam hatinya atau sekedar pemanis di bibir saja, aku tidak tahu. Yang jelas aku menghargai upayanya supaya orang tidak merasa asing dan akward ketika harus memeriksakan diri padanya. Terbukti aku merasa nyaman dan mempertimbangkan untuk benar-benar melakukan operasi itu. Mungkin kalau dokternya jaim, aku juga agak enggan meneruskan. Soalnya takut duluan.

Namanya dr. N Luwang Wisena SpOG...., yang setelah ku googling N di depan namanya itu adalah Nyoman. Orang Bali ternyata. Posturnya tinggi, kurasa ada sekitar 185 cm-an.

“Oke..., ibu mau operasinya kapan?” katanya setelah memeriksa perutku dengan USG.
“Lho, memangnya bisa kapan saja dok? “ tanyaku. Waduh, sekarang aku yang keder. Kenapa cepat sekali?
“Bisa. Kenapa enggak. Kondisi ibu baik koq. Terserah ibu kapan maunya, asal satu hari sebelumnya ibu datang dulu ke saya, kita ceklab dulu...” jawabnya.
“Oke deh, saya pikir dulu ya dok...” kataku.
“Silahkan. Kapan saja ibu siap, ayo kita lakukan. Sambil nunggu, ibu boleh papsmear dulu, terserah mau papsmear di mana. Nanti minggu depan ibu kontrol ke sini lagi ya...” katanya.
“Salam buat dokter Didik...”katanya sebelum aku keluar dari ruangannya.

Waaaah, gimana ini.... Kenapa aku sendiri yang harus menentukan waktu operasinya ya...  Aku merasa seolah aku menyerahkan diri menunggu hukuman. Nggak asyik ah dokternya. Bikin aku galau nih.

Waktu seminggu ternyata cepet sekali Ferguso! Tiba-tiba saja sudah waktunya aku harus kontrol ke RS, dan aku belum papsmear...., hayooo looo....

Hari Selasa, tanggal 26 Maret 209, kuajak Kk menemani periksa ke RS. Eh, kesiangan. Sudah tutup. Dokternya sudah pulang. Suasana di ruang tunggu juga sepi. Padahal masih jam 11.00 an.

Besoknya, hari Rabu tanggal 27 Maret 2019, datang lagi agak pagian. Berhasil. Dapat nomor antrian kesekian belas, lupa aku.
“Selamat pagi, ini yang mau periksa siapa?” tanya pak dokter melihatku masuk berdua dengan Kk.
“Saya yang mau operasi myom dok, tapi saya belum papsmear. Emang langsung operasi saja nggak bisa dok?” tanyaku.
“Ya sudah, saya periksa dulu...” katanya.
“Ini anaknya bu? Sudah nikah belum?”
“Belum dok...” jawabku.  Aku disuruh berbaring sama perawatnya, copot CD, dan membuka lebar kedua pahaku. Aduuuh.
“Oke, kondisinya bagus, nggak ada radang atau apapun. Bisa langsung operasi besok. Jam 11.00 ya bu...” kata pak dokter setelah memeriksa ‘dalamku’.
“Anaknya tinggi kayak model gini masak nggak ada yang mau bu? Saya lamar boleh?” katanya.
“Mau dijadiin yang ke berapa dok?” kataku. Pak dokternya tertawa.

Akhirnya hari itu juga aku langsung melakukan ceklab. Mulai periksa darah, urine, rekam jantung, dan rontgent yang harus kulakukan di lab luar karena RS ini tidak ada fasilitas itu.

Yang lucu waktu rekam jantung. Petugasnya sampai dua kali harus mengulang merekam detak jantungku. Yang pertama detaknya ada yang tidak terdeteksi.
“Kenapa mbak? Jantung saya nggak berdetak ya mbak?” tanyaku dengan maksud bercanda.
“Ah, enggak bu...., bukan begitu....” jawabnya serius dan mencoba menghiburku dengan beberapa kalimat yang menenangkan. Ah, si mbaknya nggak bisa diajak bercanda. Mungkin dia pikir aku ketakutan karena jantungku tidak terdeteksi, hehehe.....

Oh ya..., apakah karena RS ini adalah RS Ibu dan Anak, sehingga perawat dan petugasnya semua baik-baik dan ramah? Sopan-sopan dan benar-benar memanusiakan manusia. Perlakuannya juga tidak kasar. Ini sungguh menyenangkan.

Hari Kamis, tanggal 28 Maret 2019, aku sudah puasa sejak jam 05.00 pagi. Jam 09.00 harus sudah di RS untuk persiapan operasi. Jam 08.00 pagi aku berangkat dengan Kk naik motor menuju RS.

.....................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................


**** Aku menulis ini beberapa hari sebelum ibuku dipanggil Allah. Maksudku menulisnya kucicil karena agak panjang yang ingin kutulis, makanya tidak segera kumasukin Blog dan kuposting.
Ternyata pada tgl 17 April 2019 Ibuku dipanggil Allah. Al Fatihah untuk Ibu.
Sampai hari ini, tgl 3 Mei 2019, aku belum dapat tenaga untuk melanjutkan lagi. Jadi kupikir tidak apa-apa ini saja dulu yang kuposting.




Rabu, 20 Maret 2019

Belum Ketemu Judulnya


Beberapa kali baca berita tentang seorang anak yang tertinggal orangtuanya ketika sedang bepergian ke suatu tempat, terus terang saja, begitu baca pasti dong langsung terucap kata: Koq bisa?!

Coba saja contohnya nih, ada berita yang anaknya tertinggal di Rest Area, di Bandara, di Restorant, di Mall, dan lain-lain, yang intinya memang seolah orangtuanya koq ya kebangetan amat. Masak iya anak bisa ketinggalan, orang hape saja nggak pernah lepas dari tangan....

Baca komennya juga pedas-pedas lho, dan rata-rata menyalahkan orangtua terutama ibunya yang harusnya memang selalu mengawasi anaknya.

Aku jadi ingat waktu Kk masih kelas 2 SD dan Ndiek masih bayi dalam gendonganku. Saat itu aku habis ambil raport dari sekolahan Kk dan kami naik KRL ekonomi untuk pulang (saat itu Comuter Line-nya masih ada beberapa dan di jam-jam tertentu saja).

Kk dari kelas 1 SD sudah terbiasa naik KRL ini dan sejak kecil kakinya memang lincah seperti Kijang dan Kambing Gunung. Jadi buat dia tidak masalah harus melompat-lompat sendiri di antara sambungan gerbong yang bagi orang awam agak ngeri, atau merangkak naik ke atas gerbong karena dari lantai stasiun ke atas pintu kereta memang agak tinggi (kadang petugas terlambat meletakkan tangga di pintu gerbong).

Nah, saat itu, ketika kami baru saja masuk ke Stasiun, ada pengumuman kalau KRL Ekonomi jurusan Bogor – jakarta Kota yang tersedia di jalur sekian siap diberangkatkan.

Kk kecil langsung berlari ke jalur itu dan berusaha langsung naik. Mungkin kebiasaan kalau dia pas pulang sekolah sendirian dan harus cepat-cepat naik supaya nggak lama lagi menunggu kereta berikutnya. Dia lupa kalau aku di belakangnya sambil menggendong Ndiek.

Akhirnya terjadi deh, begitu Kk naik, keretanya jalan.
“Ayo mamie, cepetan...,!!”  katanya sambil mengulurkan tangan dari pintu kereta. (Dia pikir dia kuat menarik mm-nya kali ya...)
Kalau aku nggak sambil nggendong Ndiek ya mungkin bisa langsung melompat naik. Lha ini..., sambil nggendong bayi, masih ada juga tas dan prekenak-prekenik bayi dalam tanganku.
“Nggak bisa Kak, nanti tunggu mm di Stasiun aja...” jawabku. Kulihat dia mau melompat turun.
“Eh, nggak usah turun..., nanti tunggu mm di Stasiun!” teriakku sebelum kereta semakin melaju dan menjauh.

Dari Stasiun Bogor, nanti akan melewati Stasiun Cilebut dulu, baru setelah itu kami turun di Stasiun Bojonggede. Rumahku di Bogor dulu.
Jadi ceritanya waktu itu bukan anaknya yang tertinggal di Stasiun, tapi mm-nya yang ketinggalan, hehehe...

Kalau kemarin nih, waktu aku sedang ngantri di Poli Kandungan di RS Puri Bunda, aku sedang melototin hape, jadi sedang tidak ngeh dengan yang sedang terjadi. Tiba-tiba terdengar suara tangis anak kecil. Akupun menengok.

Kulihat seorang gadis kecil berkerudung lucu yang kira-kira berumur 2 tahun sedang menanggis di depan pintu ruang periksa yang baru saja tertutup. Perlu beberapa waktu sampai akhirnya pintu itu terbuka kembali dan si gadis kecil bisa masuk.

Penasaran. Kutunggu dan ingin kulihat seperti apa penampakan orangtuanya yang tadi sempat lepas kontrol pada anaknya walaupun sebentar.

Ketika keluar dari ruang periksa, tampak sepasang pasutri muda, mungkin belum 30 tahun usia mereka. Sang suami menggendong bayi mengikuti langkah istri yang berada paling depan dan melenggang menuju apotek di seberang ruang periksa. Baru di belakang sang ayah adalah gadis kecil tadi yang berjalan sendiri, dan seperti umumnya anak kecil yang mudah terpesona dengan lingkungan, diapun berjalan sambil tengak-tengok dan sering berhenti...

Kalau melihat pemandangan ini, memang tergelitik hati ingin memprotes; kenapa si ibu tidak mau menggenggam tangan anaknya? Toh tangannya bebas melambai....

Tapi terlepas dari semua contoh kejadian di atas, kita tetap nggak boleh lho menjudge seseorang hanya berdasarkan penampakan semata. Kita kan tidak tahu pasti kondisi perasaan mereka saat itu bagaimana. Kan ada kata-kata bijak yang menyatakan kalau yang kita lihat tidaklah selalu seperti yang terlihat.... Hayooo...., iya apa iyaaaa???

Penampakan di ruang tunggu Poli Kandungan saat itu memang bertebaran dengan pasutri muda dan pengantin baru. Rata-rata ibu muda yang mungkin perut membuncitnya adalah kehamilan anak pertama atau kedua. Yang jelas, maksimum umur mereka paling 35 tahun.

Lha terus di sini, ada nenek-nenek ikut ngantri di Poli Kandungan, apa juga hamil???!!!

(Ssssssssstttttttt!!!!!! Ceritanya dilanjut lain kali ya......)


Malang, 21 Maret 2019

Senin, 21 Januari 2019

Diklatsar Pecinta Alam Wanala Unair XLI



“Kak, nengokin Diklat yuk...” ajakku pada Kk pagi itu.
Padahal sih sebetulnya aku galau antara mau pergi atau tidak, sebab aku belum tahu lokasi tepatnya yang dipakai Diklatsar Mahasiswa Pecinta Alam Wanala Unair Surabaya ke 41 saat ini (6-13 Januari 2019). Terakhir kudengar lokasi  Basecampnya sudah pindah dari tempatku menjalani Diklatsar yang sama 32 tahun yang lalu. Kalau Pelantikannya sih masih tetap di Sumber Tetek.
“Ayuk...” jawab Kk.  Dia sih seneng aja kalau ikut aku ke acara Wanala, sebab dia lebih banyak kenal dengan Juniorku di Wanala ini daripada aku. (Karena usia mereka memang tidak jauh berbeda).
“Tapi mamie nggak tau lokasi Basecampnya.” kataku.
“Ini, dikasih sharelocnya sama mas Fais.” katanya. Tuuh kan..., aku aja nggak ada kontak sama mereka yang saat ini di lapangan, tapi si Kk malah punya sharelocnya.
“Ya udah, kita naik bis aja turun di Masjid Cheng Ho, terus katanya sih naik ojek ke lokasi...” kataku.
“Kata Sabil nanti dijemput pakai motor di Masjid Cheng Ho mie...” kata Kk. Wah wah wah..., si Kk ini bener-bener dapat diandalin ya...
“Okkkeee..., mamie suka sekali yang begini...., hehehe.....” jawabku sambil tertawa. Sabil itu Ketua Umum Wanala yang masih aktif saat ini, seumuran sama Kk. Dan bersama Fais, Robby, Wahyu cowok, Wahyu cewek, serta Tommy (kalau nggak salah) mereka pernah naik Gunung Argopura bersama. Makanya mereka akrab.

Sekitar jam satu siang, aku dan Kk naik Grab ke Arjosari kemudian nyambung bis ke arah Surabaya. Nanti turun di Terminal Pandaan, terus nyebrang ke Masjid Cheng Ho.
Tadi sih Kk sempat nanya, apa perlu bawa Sleeping Bag. Kujawab nggak usah, sebab malam nanti kita langsung pulang. Nggak usah nginep, pikirku.
Sampai di terminal Pandaan, aku dan Kk langsung ke toilet dulu. Mumpung masih ketemu toilet. Sebab kondisi Basecamp sekarang kan aku nggak tahu sama sekali, sedangkan untuk menggunakan toilet alam (baca: semak-semak), sepertinya di usiaku saat ini koq rasanya gimana gitu....
Begitu sampai di Masjid Cheng Ho, hp Kk tiba-tiba mati. Dia langsung manyun tuh. Sudah dicolokin power bank yang dia bawa, tetap aja nggak mau nyala. Cemberut tingkat dewa-dewi deh... (motto anak-anak jaman now kan hp adalah nafasku).

Sekitar setengah jam (lebih mungkin), tiba-tiba hpku bunyi....., Sabil menelpon.
“Mbak, ada di mana?” tanyanya.
“Di depan Bil, di gerbang masuk dari depan tuh...”jawabku sambil berdiri, “Kamu di mana?” sambungku sambil melongok kanan kiri mencari-cari.
Ketika aku berbalik, “Astaghfirullah...” Sabil berdiri di depanku sambil memegang hpnya.  Sama-sama kaget, dan tawa kamipun pecah.
Ternyata daritadi tuh kami duduk di tempat yang sama, hanya saja beradu punggung. Aku dan Kk sibuk menatap ke arah pintu masuk..., sedang Sabil mengawasi ke arah dalam.
Sabil mengajak anak Diklat 40, cewek, namanya Hanif buat menjemput aku dan Kk. Aku dibonceng Sabil. Kk mengikuti di belakang, dia yang membonceng Hanif. Nggak tahu, kenapa Kk yang membonceng. Ssst..., Kk juga yang kasih tahu aku nama Hanif ini.


Menuju Basecamp, aku benar-benar hilang arah. Aku belum pernah sekalipun lewat sini, dan sepertinya lumayan jauh. Melewati beberapa perkampungan penduduk, tapi jalanan aspal oke... Melihat jaraknya, nggak salah kalau agak lama juga Sabil nyampai di Masjid Cheng Ho.
Setelah sampai di depan Pos Pantau Vulkanologi, kami masuk ke jalan tanah berumput di sepanjang tepian sungai. Jalannya tidak terlalu lebar, hanya pas sebuah mobil masuk. Jadi kalau bawa mobil musti hati-hati supaya roda tidak terperosok masuk sungai.

Akhirnya sampailah kami di Basecamp.
Dua buah tenda berukuran raksasa tampak berdiri di tepi sebuah tanah lapang yang luas (atau lapangan bola?). Seorang cewek nyamperin aku dan memberi salam, dia Pipit  dari Diklat 39, Ketua Panitia Diklat 41 ini. Aku tahu dia karena pernah datang ke rumahku beberapa bulan lalu.
Suasana sepi. Karena saat ini sebagian besar panitia Diklat sedang menunggu peserta yang Linmed menuju pos pendaratan di SD Wonosunyo, dan sebagian lagi pasti sedang mempersiapkan lokasi pelantikan nanti malam di Sumber Tetek.
Di tenda konsumsi ada Ipe yang sedang membuat bubur kacang hijau (dia pernah ke rumahku dengan Pipit) dengan satu orang cewek (aku lupa namanya), dan seorang lagi cewek yang aku juga lupa namanya, dia tampak sibuk dengan laptopnya (mungkin dia yang bertanggung jawab di dokumentasi dan publikasi).
Di tenda satunya ada Bowo dan Bambang (ALB dari Diklat berapa, lupa). Kemudian ada Bernard yang baru datang juga. Ada Wahyu (kata Kk sih dipanggilnya pak Lurah), dan siapa lagi ya..., lupa. Waktu itu nggak kucatat sih, kami langsung asyik ngobrol aja.
Sempat ketemu Robby (dan pacarnya) yang kemudian langsung berangkat mengantar konsumsi ke lapangan.

Eeh, nggak lama kemudian hpku bunyi, Etty Harjanti Handayani (Diklat 10) nelpon, “Mbak...., aku kesasar. Sekarang aku di depan Pos Pantau, ini terus ke mana?” tanyanya. Ternyata dia nyusul juga. Padahal tadi pagi juga sama galaunya dengan aku, antara mau pergi atau enggak, hehehe....
“Kesasar? Posisimu di mana sekarang?” tanyaku.
“Suruh tunggu di situ aja mbak, biar kujemput... “ kata Sabil yang mendengar aku bertelpon dengan Etty.

Ternyata Etty nggak lama. Dia nggak 
nunggu acara pelantikan nanti malam. Jadi ketika setelah maghrib, aku dan yang lain-lain menuju lokasi pendaratan, Etty dan suaminya pulang. Tapi kurasa yang sebegitupun pasti sudah hal yang luar biasa buat Etty, cukup untuk mengobati rasa kangen pada suasana seperti ini. Suasana Diklat yang mengharu biru.

Tiba di SDN Wonosunyo, dua team peserta sudah mendarat dan pada bergelimpangan di teras sekolah, beristirahat menunggu pelantikan nanti malam, setelah Linmed mereka sehari semalam di lereng Gunung Penanggungan ini. Pasti lelah lahir bathin, bercampur lega.  Sudah pernah kualami dulu, hehehe....

Beberapa orang Anggota Wanala (aktif) yang melihatku tampak datang menghampiriku, seperti Fais, Reza, siapa lagi ya...., mengucap salam, dan yang belum kenal mengenalkan diri sambil menyebut Diklatnya, ngobrol sedikit, kemudian melanjutkan aktifitasnya lagi. Yang lain mah cuek bebek.  Sungguh beda dengan jamanku dulu ketika menanggapi apressiatif senior yang datang di acara mereka, hehehe....
Aku sempat mau ke toilet, tapi kata panitia, di sekolahan ini toiletnya tidak keluar airnya dan tempatnya horor karena tidak berlampu.
“Nggak ada airnya mbak, pakai ini aja...” Bambang langsung menyodorkan botol air mineral yang dibawanya. Kuterima dengan takjub, makasih ya...
“Mamie manja ih..., apa harus ke toilet sekarang? Jangan ngrepotin anak-anak dong mie, mereka kan sibuk...” kata Kk. Manja katanya?! Enak aja!! Biarpun aku juga Anggota Wanala, tapi sudah emak-emak nih. Dia belum ngerasain jadi emak-emak sih.
“Saya antar ke masjid aja mbak..., ini juga saya barusan dari masjid...” dua orang panitia cewek cantik yang baru turun dari motor menawarkan diri. Oke deh..., akupun diantar salah satunya (aku lupa namanya, tapi sepertinya dari Diklat 40) menuju masjid pakai motor. Jauh, katanya. Makasih ya..., sudah meladeniku...., muach.

Kembali dari toilet, aku tetap ngobrol dengan Bambang dan siapa ya..., lupa lagi, masuklah sebuah mobil sedan ke halaman SDN Wonosunyo ini. Pasti ALB lagi yang datang.  (Eh, jangan risau dengan banyaknya lupaku lho ya..., karena tampaknya saat ini faktor U sudah amat turut andil banget dalam hidupku, hihihi....)
Sungguh suatu perasaan yang tidak dapat kuceritakan melihat begitu besar support, perhatian dan interestnya para ALB dengan kegiatan juniornya di wadah Pecinta Alam yang kami miliki ini. Sebuah wadah yang mengikat kami dan menjadikan kami sebagai saudara seumur hidup, walaupun rentang perbedaan usia kami yang sangat jauh.
Keluar dari mobil adalah cowok-cowok ganteng dari Diklat 28, 29, dan 30. Sepuluh tahun bedanya dengan Diklat saat ini. Ada Arya, Viki, Bobo, dan Tatang (?). Tetapi mereka masih menyempatkan diri hadir.
Sambil menunggu acara Evaluasi Linmed jam 22.00 WIB, Sabil dan Fais mengajak aku dan Bambang mengobrol di sebuah kelas kosong.
“Sambil duduk mbak, daritadi mbak Aan berdiri terus, apa nggak capek... “ kata Sabil.  Si Kk ke mana? Entahlah..., pasti dia sudah menemukan teman ngerumpinya sendiri.

Ketika sedang ngobrol itulah, ada panitia yang memberitahu Sabil dan Fais kalau acara Evaluasi di Lapangan depan sekolah itu akan dimulai. Kamipun keluar dari kelas dan melihat semua peserta sudah dibawa ke lapangan oleh panitia.
“Mbak Aan nanti ke Sumber sama anak-anak ya...., tunggu saya carikan dulu...” kata Sabil.
“Iya, iya..., gampang Bil... Sudah sana, kamu Evaluasi dulu.” kataku.

Naah, baru sekarang tuh kelihatan si Kk. Dia muncul begitu saja, entah dari mana.
“Lapar nggak Kak, mamie lapar nih.... Perasaan tadi kita belum makan dari pagi ya...” kataku sambil berjalan menghampiri tempat cowok-cowok ganteng (ALB yang datang pakai sedan tadi) nongkrong.
“Di mana ada warung ya....” tanyaku ke mereka.
“Waduh, di mana ya... Biar diantar Tatang aja mbak, cari warung ke bawah...., pakai mobil aja...” kata mereka. Itu yang Diklat 30, kamu namanya Tatang kan? Bener nggak sih... Sorry kalau salah ya..., dan makasih sudah diantar-antar.
Aku dan Kk pun diantar mencari warung ke dekat masjid tempat aku tadi numpang ke toilet. Tapi ternyata warung-warungnya sudah pada tutup. Jadi aku cuma membeli beberapa bungkus roti sisir. Lumayan buat mengganjal perut supaya tidak masuk angin, pikirku. Kamipun kembali ke SDN Wonosunyo tadi.
Evaluasi masih berlangsung, jarum jam semakin merambat naik, tiba-tiba saja rombongan cowok ganteng tadi pada pingin jalan kaki ke Sumber Tetek. Si Kk ikut jalan. Aku mah ogah. Jadi aku dan Tatang naik mobil ke Sumber Tetek. Nunggu pelantikannya di sana aja.

Sampai di Sumber Tetek, ternyata ada Ibu Nur (Pembina Wanal saat ini) yang lagi tidur di mobilnya. Tadi sekitar jam 21.00 dijemput Bernard di GG karena nggak berani bawa sendiri ke atas (lokasi) yang memang medannya naik turun curam dengan kondisi jalan yang hanya cukup dua mobil berpapasan.
Ada juga Nuh dan Zaky dari Diklat 10. Wowowowooo....!! Mereka bawa Martabak dan Terang Bulan banyak banget. Sampai-sampai mobilnya bau Martabak, kata Tatang yang sempat diminta tolong ambil ke mobilnya buat dicemilin sambil nunggu acara pelantikan.
Kira-kira setengah jam kemudian robongan cowok ganteng dan Kk yang tadi berjalan kaki sampai di sini. Pada keringatan di tengah malam begini.  Biar perutnya pada kempes dikit...., hehehe.... Sejak lulus kuliah dan kerja, pasti pada jarang Binjas, jadinya perutnya mulai membuncit tuh...

Menjelang tengah malam, Upacara Pelantikan Anggota Baru wanala Unairpun dimulai. Penerangan sekitar lokasi dipadamkan, para pesertapun berdiri dengan kaki direndam di air sumber. Aku melihat dari pinggir pagar.
“Mbak, ikut upacara ya. Berdiri di sini aja. Pasti kangen suasana ini kan.” kata Wahyu sambil mengajakku berdiri di samping Bu Nur dan Sabil.
Okelah. Sebab, ternyata akupun juga masih hafal dan dapat menyanyikan lagu Hymne Airlangga yang dinyanyikan setelah lagu Indonesia Raya dengan benar.
Begitupun juga ketika Ikrar dan Janji Wanala dibacakan yang diikuti oleh seluruh peserta, akupun dapat menikmatinya dengan perasaan yang bercampur aduk. Untung nggak mewek.
“Ayo mbak, mbak Aan ikut mengguyur anak-anak...” kata Sabil ketika acara pengesahan pengguyuran air pada para peserta. Wahyu memberikan gayung air padaku.
Kuambil segayung air kembang yang sudah disiapkan panitia di sebuah tong besar dan mengguyurkan sedikit-sedikit ke atas kepala para peserta. Benar-benar campuran air dan kembang yang wangi itu, bukan air bekas cucian piring seperti jamanku dulu, hehehe...




Sekitar jam 01,00 dini hari, Upacara Pelantikan selesai dan semua kembali ke Basecamp. Peserta dinaikin Pick-up, dan kulihat si Kk ikut naik Pick-up dengan Sabil. Aku sendiri ikut mobilnya Bu Nur.

Sudah lewat tengah malam. Rencanaku tadi kan tidak nginap. Tapi kalau sekarang kondisi begini, apa iya aku tetap mau pulang? Kasihan Sabil (dan yang lain) yang pasti harus mengantarku ke terminal.
“Nginap aja ya mbak, besok pagi aja pulang..., habis ini makan dulu...” kata mereka.
“Mbak, mau pulang jam berapa..., saya besok selepas shubuh langsung balik..., ayo sama saya aja.” tadi Bu Nur juga sempat menawarkan begitu ketika kami di dalam mobil dalam perjalanan menuju Basecamp ini.
Ya sudahlah. Tanggung juga kan, kalau nggak merasakan suasana seperti ini sampai tuntas. Kapan lagi ada kesempatan begini..., belum tentu tahun depan bisa datang lagi nengokin Diklat. Namanya juga emak-emak, urusannya kan banyak.
Akhirnya Nasi Tumpengpun dipotong sekitar jam setengah tiga pagi. Ini syukuran sekalian sahur kali ya...., hehehe... Beberapa ALB tampak lagi. Ada Iwan si ayah, ada Yasak, dan lain-lain.
Setelah acara makan selesai. Masing-masingpun langsung merebahkan diri di tempat itu juga. Bergelimpangan begitu saja. Walaupun tampak beberapa panitia menggunakan Sleeping Bag sebagai selimut. Si Kk juga memakai Sleeping Bag punya Panji dan merebahkan diri tidak jauh dari tempatku duduk.

Aku sendiri, masih ngobrol dengan Sabil dan Sodek. Sesekali juga ada yang ikut nimbrung. ALB yang lain pada ngerumpi di luar di depan api unggun yang dibuat Yasak. Tidurpun mereka pada bergelimpangan beratap langit.
Setengah empat pagi.  Aku masih ngobrol dengan Sabil dan Sodek. Mau tidur? Ini sudah hampir shubuh. Tanggung amat.
Setengah lima Bu Nur bangun dan diantar ke masjid oleh Yasak dan Sabil.
Kk bangun, dan menuju semak-semak untuk menunaikan buang air kecil. Sudah biasa ke gunung dan hutan ya seperti itu. Cukup bawa tissu basah (yang seharusnya tidak boleh), katanya.


Pulang dari masjid bu Nur bermain bola dan kami sempat foto-fotoan. Belum banyak yang bangun, baik peserta maupun panitia Diklat. Kasihan, pasti remuk redam luluh lantak deh tubuh mereka, setelah sepekan penuh beban, perjuangan dan doa..., hehehe...
Ketika aku akan pulang, kusempatkan menengok sebentar ke tenda. Ternyata Sabil tampak pulas..., hanya Sodek yang masih sempat kulihat terjaga sampai aku pulang.
Sabil, maaf ya... aku benar-benar lupa kalau kamupun pasti lelah sangat, tapi semalaman masih menyempatkan diri menemani aku ngobrol sampai pagi. Sungguh aku jadi merasa egois dan tidak tahu diri.
Sebetulnya, nggak perlu juga memaksakan diri harus menemani aku ngobrol, walaupun memang saat itu bisa dibilang aku adalah ALB tertua yang hadir. Salahku sendiri kan kalau aku tidak tidur?

Ketika pulang, Bu Nur yang disupirin Tatang, mengantarku sampai ke Terminal Pandaan untuk menunggu bis ke Malang. Trimakasih ya bu..., dan Tatang.
Trimakasih buat semua adik-adik Wanala yang terlibat dalam penyelenggaraan Diklatsar kali ini. Trimakasih telah menghadirkan satu lagi kenangan indah untuk kunikmati besok. Viva Wanala!!



Malang, 22 Januari 2019

***setelah sampai rumah, si Kk bilang kalau Sabil dan Fais minta maaf karena tidak melepasku pulang, karena mereka masih tidur. Ya ampuunn..., sampai segitunya ya... (aku jadi terharu nih...)