Kamis
pagi 28 Maret 2019. Aku harus puasa sejak subuh untuk persiapan operasi hari
ini. Tapi sebetulnya sih makan dan minum terakhir ya malam sebelum tidur. Aku
tidak biasa sarapan pagi-pagi.
Kusiapkan
beberapa baju ganti dan kain yang kira-kira akan dipakai nanti kalau nginep di
RS. Paling kan biasanya 3 hari. Biar nanti Kk yang packing. Dia sudah nyiapin
carrier dan matras buat alas tidurnya ketika nanti nemenin aku di RS. Kusiapkan
juga sebuah bantal boneka buat dibawa.
Aku
juga nyiapin teh buat diantar ke tempat Poci di depan SMK Telkom. Nanti pas aku
dan Kk berangkat, bisa sekalian kami bawa.
Begitulah,
setengah sembilan pagi, aku dan Kk berangkat naik motor menuju RS.
Terus
terang, sebetulnya perasaanku seolah masih di awang-awang. Aku masih tidak
pasti apakah aku betul-betul mau melakukan operasi ini. Rasa takut itu masih
ada.
Tanpa
memahami kegundahan hatiku, petugas RS langsung menanganiku sesuai prosedur
persiapan operasi ketika aku dan Kk mendaftar ke IGD dan menyerahkan hasil foto
rontgen di Lab luar kemarin.
“Mari
bu, silahkan ibu berbaring di sini, dan pakaiannya dilepas ya....” seorang
petugas (entah perawat atau bukan, sebab tidak pakai seragam) mengantarku ke
sebuah ranjang periksa yang hanya berbatas tirai sambil menyerahkan sepotong
baju atasan RS warna hijau.
Kulepas
baju atasan dan bra, kemudian berganti baju RS tadi, dan berbaring
berselimutkan kain yang ada di ranjang.
Tidak
lama petugas laki-laki datang akan memasang infus di lengan kiriku. Aduuuh....,
aku mencoba mengingat-ingat bagaimana rasanya dulu ketika jarum infus masuk ke
lenganku waktu akan melahirkan Ndiek.
“Mau
operasi jam 11.00 ya bu...., maaf, saya pasang infus dulu ya...” katanya. Aku mengangguk.
Pertama
dicoblosnya punggung tanganku dengan jarum, dan dimasuki dengan jarum yang
lebih panjang. Tapi kemudian ditahan dan dibongkar lagi, bekas lubang jarum
ditekannya dengan sangat kuat.
“Maaf,
saya pindah ke pergelangan tangan saja ya bu. Yang di punggung sepertinya
terlalu halus, uratnya pecah. “ kata petugas itu. Sekali lagi aku hanya sanggup
mengangguk. Pikiranku masih belum mantab.
Sempat
ditanya juga sama petugas aku alergi apa. Kubilang dulu sih sepertinya pernah
alergi obat, tapi lupa obat apa.
Waktu kuliah dulu, aku pernah sakit. Terus,
sama mas Ary yang Mahasiswa Kedokteran, aku dikasih obat. Ternyata beberapa
hari kemudian seluruh persendian jari-jari tanganku bentol-bentol gatal, dan aku
dikasih incidal. Saat itu dikasih tahu kalau aku alergi obat titik-titik itu,
disuruh ingat-ingat sih..., tapi ya namanya lupa masak boleh disalahin?
Mas
Ary ini kakaknya mas Tomy, kakak kelasku di FISIP Unair yang sudah seperti kakakku
sendiri. Tiap nunggu jam kuliah, biasanya aku nunggu di rumahnya yang memang
tidak jauh dari kampusku. Mereka tinggal di Perumahan Dosen di dalam Kampus B.
Mendengar
aku ada alergi obat, petugas RS-nya kemudian menyuntikkan sesuatu di lengan
kiriku. Untuk test alergi. Kulihat reaksi obat itu berbuih seperti mendidih
membentuk gelembung (busa) kecil-kecil. Rasanya seperti serrrrr....
Selain
itu aku sepertinya juga alergi kepiting, sebab setiap kesenggol daging kepiting
sedikit saja, perutku seperti diaduk-aduk.
Terus
aku dikasih gelang satu lagi di tangan kananku. Tadinya sudah ada dua gelang,
sekarang jadi ada tiga dan warna-warni. Sayang aku lupa motretnya. Lumayan buat
ganti sekumpulan aksesories gelang batu yang biasa kupakai dan terpaksa harus
dilepas karena mau operasi ini.
Sambil
menunggu itu kucoba berdoa dan ingat kata-kata ibuku kalau aku harus
memantabkan hati dan pasrah sama Allah. Berharap semoga semuanya lancar.
Selama
itu Kk yang mondar-mandir menyiapkan semua urusan yang diminta. Mulai
surat-surat , beli popok di apotek, sampai kain untuk kubawa ke kamar operasi.
Tiba-tiba
adikku Dodi datang, “Jam berapa jadwalnya?” tanyanya.
“Katanya
sih jam 11.00 nanti. Tapi ya nggak tau lagi, soalnya kudengar hari ini
dokternya operasi 5 atau 7 orang gitu lho...”
jawabku.
“Ya
sebentar lagi...” kata adikku sambil melihat arlojinya.
Kemudian
datang perawat yang sepertinya sedang hamil dan memeriksa selang infusku.
“Ibu
pindah ke ruang operasi ya..., dan maaf tolong ditunggu di luar ya...” katanya pada
Kk dan adikku sambil membuka selimutku.
“Lho,
koq celananya belum dibuka? Berarti belum cukur bu?” katanya lagi begitu
melihat di bawah selimut itu aku masih memakai celana panjangku.
Aku
disuruh membuka celana panjang termasuk CD-ku dan berbaring untuk ‘diurusnya’.
“Nanti
pemati rasa dilakukan dari pinggang ke bawah ya bu..” katanya. Sebetulnya aku
pingin bilang kalau aku mau dibius total saja, tapi tidak sebuah katapun keluar
dari bibirku.
Setelah
selesai, kain selimut tadi diikatkan dipinggangku dan seorang petugas laki-laki
datang membawa kursi roda.
Sebendel
surat-surat, popok, dan kainku ditaruh di sisi kursi rodaku.
“Bapak
dan mbak-nya silahkan ditunggu di ruang ujung sana, saya akan masuk lewat
sini...” kata petugas yang mendorong
kursi rodaku ke adikku dan Kk.
Akupun
didorong masuk ke sebuah ruangan yang ternyata sudah ada dua ibu-ibu muda duduk
di kursi roda sepertiku di sana.
“Nah,
sudah sampai bu...., tunggu giliran ya..., silahkan buat group trio ya...” kata
petugas yang mendorongku tadi dan kemudian meninggalkan aku di situ. Posisiku
berada di belakang dua ibu-ibu itu.
Dua
orang ibu-ibu itu menoleh dan tersenyum padaku. Mereka berdua tampak ngobrol
seru. Sepertinya teman lama yang sedang reuni.
“Ibu
operasi juga?” tanya salah seorang.
“Iya,
myom...” jawabku, “Ibu?” sambungku bertanya.
“Saya
cesar bu.” Jawab ibu di depan kiri.
“Kalau
ibu, cesar juga?” tanyaku ke ibu di depan kanan.
“Iya
bu, saya anak kedua.” Jawabnya.
Subhanallah.
Aku sempat blank melihat pemandangan dua orang ibu-ibu di depanku ini. Mereka
begitu santai, bercerita-cerita sambil tertawa-tawa. Padahal beberapa saat lagi
akan melahirkan.
Beda
banget dengan suasana di ruang bersalin tempatku dulu yang akan melahirkan
secara normal, tidak operasi. Ada erangan-erangan tertahan menahan sakit.
Termasuk aku sendiri yang tidak bisa berbaring enak dan terus menggeliat-geliat
karena sakit. Aku berusaha setengah mati untuk tidak mengeluarkan kata-kata
keluhan dan hanya berdo’a segala macam do’a yang sempat terlintas. Semua do’a.
Kira-kira
seperempat jam kemudian ibu di kanan depan dibawa masuk. Tinggal aku berdua
ibu-ibu di kiri depan.
“Saya
akan cesar kedua kali bu, tapi sebetulnya ini anak ketiga. Yang pertama
meninggal dalam kandungan bu...” katanya.
“Saya
belum pernah operasi. Kedua anak saya lahir normal, dan sekarang sudah
besar-besar...” kataku.
Tidak
lama, terdengar tangis bayi dari dalam ruangan. Satu kehidupan baru telah hadir
ke dunia ini.
Tidak
sampai setengah jam kemudian, ibu inipun dibawa masuk. Dan seperti tadi, tidak
lama kemudian terdengar tangis bayi dari dalam ruangan.
Hatiku
benar-benar masih kacau, tapi bukan karena balon merahku habis meletus lho
ya... Aku masih tetap belum merasa mantab dan takut. Tapi aku harus terus
melakukannya, pikirku.
Saat
itulah aku jadi ingat kalimat-kalimat bijak saat menonton Drama Korea. Katanya,
berani itu bukan tidak takut. Tapi berani itu adalah tetap melanjutkan ketika
perasaan tidak berani itu datang. Jadi aku harus berani. Kata di Drama Korea:
Hwaiting!!
Tapiii...,
tau nggak. Ruang tunggu giliran ini sungguh sepi. Hanya ruang kosong kecil sekitar 3X3 meter
tanpa tivi ataupun perabotan lainnya. Suasananya terkesan dingin. Dan aku
seolah sedang menunggu giliran untuk dijatuhi hukuman. Hiii....
Tiba
giliranku dibawa masuk. Aku disuruh naik keranjang operasi. Disuruh duduk
sebentar dan ditembak bagian belakangku dua kali. Nggak tau sebelah mana. Dess
dessss!!
Kemudian
disuruh berbaring, dan diapasang kain pembatas di daerah dada.
“Coba
kakinya diangkat bu..., yang tinggi...” kata petugas.
“Sudah...”
kataku sambil mengangkat kedua kakiku.
“Coba
diangkat lagi bu....”
Kucoba
mengangkat kakiku lagi, tapi koq nggak mau terangkat. Malah mulai kerasa
kesemutan. Aduuuh...., pingin dipindah posisinya nih kaki..., nggak enak banget
kan kalau kesemutan.
“Tolong
dong kaki saya diangkatin sebentar, dipindahin posisinya. Kesemutan nih...”
kataku.
“Ya
memang begitu rasanya kalau dibius bu...” jawab petugas.
“Iya...,
tapi tolong pindahin dikit deh, geser dikit gitu..., ini nggak enak banget
rasanya...” aku tetap ngeyel. Tapi petugasnya nggak mau nurutin.
Haduuuuh,
ini adalah momen paling tidak nyaman selama episode dibius. Sungguh aku ingin
bangun dan menggeser sedikit kakiku. Tapi aku tidak bisa bangun karena kedua tanganku
direntangkan dan sepertinya diikat.
“Ibu
kalau ngantuk tidur aja, jangan dilawan, nanti pusing.” Entah siapa yang
ngomong itu. Seperti suara dari antah berantah.
Aku
memang mau tidur. Siapa juga yang mau lihat dokter mengobrak-abrik perutku,
pikirku. Maka akupun tidur. Lep. Tidak dengar ataupun ingat apapun. Kapan
dokternya datangpun aku nggak tau.
Ketika
kubuka mata, kedua tanganku bersidekap di perut. Bajuku sudah bukan baju RS
lagi. Selimut yang dililitkan di bagian bawahku tadi sudah berganti Kain Bali
yang kubawa dari rumah. Ruanganpun sudah berganti dari yang tadi. Tapi aku
masih belum bisa menggerakkan kedua kakiku.
Tampak
di sisiku juga ada sebuah ranjang yang lain. Aku mencoba menengok, dan kulihat
ibu yang tadi di depan kiriku tersenyum padaku. Kubalas senyumnya.
Tidak
ada kata-kata yang terucap diantara kami, karena aku juga tidak tahu harus
ngomong apa. Otakku masih kosong. Masih mencoba mengingat apa yang sudah
terjadi. Sampai akhirnya ranjang si ibu tadi didorong ke tempat lain.
Tiba-tiba,
dokter Luwang menghampiriku.
“Sudah
selesai operasinya ya bu..., myom ibu sudah saya keluarkan. Gede lho bu...,
segini...” katanya sambil membentuk bulatan dengan kedua tangannya.
“Cepat
sembuh ya..., sekarang saya tinggal dulu...” katanya lagi. Aku masih juga
tergugu. Tidak dapat berucap sepatah katapun. Ini mungkin yang disebut shock.
Ranjangkupun
didorong ke tempat lain yang ternyata ke samping ibu tadi. Tapi perasaanku
masih kacau balau dan kaki masih belum juga dapat digerakkan. Ada botol infus
di sebelah kiriku. Kepalaku sih enteng.
“Bu,
kita ke kamar ya sekarang...” akhirnya beberapa petugas dan perawat menghampri
ranjangku. Mendorongku keluar dari ruang eksekusi ini.
Keluar
dari lift, aku melihat Ndiek yang sepertinya sedang memastikan apakah yang
sedang dilihatnya saat itu adalah mamienya.
Sampai
di kamar, aku dipindahkan ke ranjang dan kedua kakiku masih belum dapat
digerakkan. Sepintas kulihat ada Kk, Ndiek, adikku, dan suamiku. Tapi aku
pingin tidur, belum pingin ngobrol. Jadi akupun tidur.
Bangun
tidur, adikku sudah pulang. Sudah lewat maghrib ternyata.
Nggak
lama kemudian suamiku pulang bawa motor Kk dan ngurusin rumah. Kk dan Ndiek
yang bakalan campink di RS nemenin aku.
“Mamie
pingin miring dong, punggungnya nggak enak nih...” kataku.
“Nggak
boleh mie...” kata Ndiek.
“Boleh.
Ayo kak, tolong pasang bantal di punggung mamie, mamie mau miring...” kataku.
Kakiku masih belum bisa digerakkan, dan rupanya ada selang kateter yang
dipasang. Aduh, ribet banget sih.
Dua
orang anakku bingung. Antara mau nurutin maunya mamienya atau gimana.
Tiba-tiba
perawat datang nganter obat.
“Suster,
saya boleh miring kan?” tanyaku.
“Oh,
boleh bu..., nggak apa-apa... Tetap bergerak seperti biasa nggak apa-apa...”
jawabnya.
Baru
deh Kk menaruh bantal boneka buat ganjal punggungku supaya aku bisa bertahan
miring.
Ada
jatah makan malam yang sudah disiapkan. Tapi siapa yang bisa makan di kondisi
itu, sebab saat itu perutku sudah mulai terasa ngilu, ngilu, sakit, dan semakin
sakiiit sekali... Setetes airpun tidak ingin kutelan.
Ketika
selang infus di tanganku merah, Kk memencet bel memanggil perawat. Ternyata
botol infusku sudah kosong. Diganti botol infus yang baru.
Kalau
Cuma cairan infus yang dimasukkan ke tubuh sih nggak terasa apa-apa. Tapi
ketika selang insusnya dimasukin obat, haduuuh...., itu baru terasa sakit.
“Suster,
boleh minta pereda nyeri lagi dong..., ini perut saya sakit sekali...” kataku.
“Nggak
boleh bu, sudah ada dosisnya yang diberikan tiap 8 jam sekali.” Jawabnya.
8
Jam sekali???!!! Astaghfirullah, bisa koít aku karena sakit.
“Kasih
resepnya aja deh suster, biar ditebus sendiri sama anak saya ke apotek...”
kataku lagi.
“Nggak
ada ibu..., nanti sebentar lagi sudah reda koq sakitnya...” jawabnya.
“Ibu
sudah buang angin belum?” tanyanya. Aku menggeleng. Males njawabnya. Orang
minta pereda nyeri saja nggak boleh, pikirku.
Reda
apanya?! Semakin lama sakitnya setengah mati. Haduuuuh, ini momen terparah
setelah operasi. Sakitnya bukan main. Amit-amit banget aku nggak akan lagi mau
operasi beginian. Kapok banget aku.
Sekitar
jam 21.00 mbak Ririt, sobat Wanalaku datang dengan keponakannya. Aku jadi ingat
ceritanya yang juga kesakitan waktu operasi serupa. Waktu itu dia sedang
merayuku supaya mau operasi.
“Operasi
itu memang sakit An, tapi ada obatnya koq buat ngatasi rasa sakit itu...” katanya.
“Mbak,
obat apa yang kata mbak Ririt penghilang sakit itu..., kasih tau Rieke dong
biar dia beli sendiri di apotek...” tanyaku.
“Sudahlah
An, tahan sebentar. Ini aja sudah cukup koq...” jawabnya. Dan tetap nggak mau
ngasih tahu biarpun aku tanya sampai berkali-kali.
Waaah,
mbak Ririt ini nantang aku ya..., saking aku masih tidak berdaya. Coba aku
sehat, kuajak gulat dia! Oh ya, kakiku sudah mulai bisa digerakkan.
Sekitar
jam 02.00 atau 03.00 pagi, tiba-tiba perutku campur mulas, seperti ingin BAB.
“Kak,
tolong anterin mamie ke toilet dong, kayaknya pingin BAB nih...” kataku ke Kk yang sedang kebagian jaga. Ndieknya lagi tidur. Tapi bangun
juga begitu melihat aku turun dari ranjang berjalan ke toilet diantar Kk. Kk
harus pegang botol infus dan kantong kateter.
Tapi
sudah nongkrong lama sampai kesemutan di closet, tidak ada apapun yang keluar,
bahkan sepotong kentutpun tidak.
“Bisa?”
tanya Ndiek begitu aku dan Kk dari toilet.
“Nggak
bisa. Nggak ada apa-apa yang keluar.” jawabku.
“Ya
gimana ada sampahnya, orang mamie nggak mau makan apa-apa, minum aja nggak
mau...” katanya. Aku cuma menggelengkan kepala. Siapa yang nafsu makan kondisi
begini Dek...
Kuputus
dulu ceritanya ya, biar nggak bosan.
Malang,
19 Mei 2019