Senin, 03 Desember 2012

Melihat dari Atas Awan



“Melihat dari Atas Awaannnn,… sejauh mata kulepaskaaannn…. “ Eh, salah ya…. Hehehe….  Itu kan syair lagu yang bunyinya ‘Melihat dari Atas Bukiiiittt, … sejauh mata kulepaskaaannn…’

Kalau melihat dari atas awan, seolah aku punya ilmunya orang-orang dulu yang bernama ‘ngrogoh sukmo’, bisa memonitor diri sendiri dari awang-awang dan melihat tubuhnya jauh di bawah sana.

Dari atas awan aku juga bisa melihat aku yang sedang berjalan seolah berputar saja tak tentu arah. Sekali-sekali kepinggir arena nyamperin seseorang yang sebelah kakinya terikat tapi tangannya dapat menggamitku. Terkadang lagi ada seseorang yang berjalan di sampingku menemani sampai titik tertentu. Tapi ada juga yang hanya dapat memperhatikan aku dari balik pagar tanpa dapat mendekatiku. Ada juga pintu yang terbuka untuk didatangi, tapi sayang di sana tidak ada penghuninya.

Tiba-tiba aku melihat dua sosok bernuansa kontras, boleh hitam dan putih, boleh merah dan putih, boleh apa saja…., asal mencerminkan dua karakter yang bertentangan, yang datang menghampiriku.

Yang berwarna, berekor dan bertanduk  tampak memelukku dengan gaya sok akrab. Di tangannya memegang sebuah hati yang kelihatan menggiurkan karena masih berlepotan cinta, emosi dan nafsu… Sementara yang putih hanya mengikuti saja setiap langkahku dengan tenang.
“Ambil nih, hati ini bisa jadi milikmu…..” bisik makhluk berekor.
“Emangnya gak ada yang punya?” kudengar aku menjawab dengan hasrat berbinar.
“Ah, tadi kutemukan di suatu tempat…, sepertinya memang menunggumu untuk mengambilnya.” kurasa aku jadi ge-er mendengar rayuan itu. Aku meraih sepotong hati itu dengan haru. Kubawa ke dada untuk kuletakkan di sana.

Tiba-tiba, makhluk putih yang dari tadi hanya diam saja menghampiriku dan mengelus kepalaku dengan sayang (yang ini tampaknya juga sok akrab deh…). Yang berekor sedikit terlempar ke belakang.
“Sebaiknya jangan langsung diambil, sebaiknya periksa dulu baik-baik. Apakah benar hati itu tidak ada yang punya?” bisik makhluk putih dengan lembut dan nyaris tidak terdengar. Aku sampai harus memanjangkan kupingku supaya dapat mendengarnya dari atas awan ini.
“Tenang saja, tadi sudah kuperiksa koq…., aku yakin hati itu memang untukmu…” teriak makhluk berekor dari belakang.
“Kembalikanlah….” bisik makhluk putih itu lagi.

Kulihat aku menjadi bimbang. Naluri manusia dan egoku tampaknya sudah terbujuk. Aku pasti membayangkan indahnya dunia bila berhasil memiliki hati itu. Kesepian pasti terobati. Kerinduan pasti terlunasi.
“Kenapa harus kukembalikan kalau aku dapat memilikinya sekarang? Kenapa aku tidak boleh memilikinya?”
“Cobalah untuk bertahan, mungkin nanti atau di tempat lain, akan ada hati yang memang benar-benar dapat jadi milikmu…” bisik si putih lagi.

Dengan bercucuran air mata, aku meletakkan hati itu di sebuah batu di bawah pohon yang rindang supaya tidak kering tersengat matahari.

Tiba-tiba saja si makhluk berekor memukul kepala si putih dengan tombak besinya. “Tunk!!!!”
“Eh, apa-apaan sih kamu…, kalah ya kalah aja, gak usah marah gitu kaleeee…..” si putih balas melempar makhluk berekor dengan kilatnya, "Dhuarrr..!!!"

Dari atas awan ini aku jadi gemas pada mereka semua, giman sih ini…. Masak hati itu ditaruh begitu saja di atas batu, nanti kalau disemutin gimana? Si putih dan makhluk berekor itu juga o’on, ngapain juga mereka jadi perang sendiri di sana?
“Biar kuambil saja hati itu…., biar nggak disemutin…..” pikirku.

Eh, tiba-tiba saja kuping kananku ada yang menjewer….., “Eit, tidak boleh…” aku menengok. Eh, ternyata di situ juga ada makhluk putih yang sedang mengikat kaki kananku dengan tali awan.

Huhuhu……, ya udah, aku jadiin sambal goreng hati aja deh….!!  Aku menengok ke kiri, ternyata di sana juga ada makhluk berekor yang juga sudah membelit kaki kiriku dengan ekornya….., bibirnya tersenyum dan matanya dikedipkan satu ketika aku melihat padanya….

Hastschihhhhh…….., aku bangun aja deh.



Bogor, 4 Desember 2012