Rabu, 26 Februari 2014

Nyusuh dan Leles



Waktu beres-beres rumah ketika mau pindahan tempohari, baru kusadari ternyata rumahku selama ini penuh sekali dengan sampah, penuh dengan barang-barang yang harusnya sudah sejak lama dibuang, dibakar, ataupun dilempar ke laut….., hehehe, kayak lagu ‘cewek matre cewek matre… ke laut aje…’

Kebiasaan yang tidak perlu dilestarikan dalam hidup dan tidak perlu kuturunkan pada anak cucu ini salah satunya adalah; setiap saat selalu dan selalu membeli atau mengumpulkan barang-barang yang tidak begitu perlu sehingga akhirnya menjadi gunungan barang yang tidak terpakai. Suamiku juga begitu, banyak barang-barang elektronik yang sudah masanya lewat, tapi tidak boleh dibuang. Katanya nanti masih bisa dipakai koq, tinggal dibenerin ininya atau diganti itunya…, tapi pada kenyataannya sampai bertahun-tahun ya hanya dibiarkan begitu saja menjadi sarang laba-laba.
Kadang-kadang dapat barangnya juga nggak beli sih, dapat leles, biasanya ditanya teman atau saudara, “Mau aquarium ini nggak? Kalau mau ambil saja, daripada  dibuang…” kubawa pulanglah itu aquarium, padahal yang di rumah juga sudah ada. Ngapain coba, sebab akhirnya aquarium itu dijadikan tempat mainan oleh anakku.
“Itu ada TV yang sudah nggak dipakai, kalau mau bawa pulang saja, di sini menuh-menuhin…”
Dan, masih banyak lagi yang lainnya….., huft!!

Seperti sudah kebiasaan atau malah sudah jadi budaya, aku selalu menyimpan barang-barang yang telah selesai digunakan dengan alasan mungkin nanti suatu saat kita butuhkan, nyusuh, padahal seharusnya barang tersebut kita buang saja supaya dapat dimanfaatkan atau didaur ulang oleh yang lain. Contohnya saja adalah ketika membeli es cream yang family pack. Harusnya kan setelah dimakan isinya, wadah es cream tadi dibuang saja. Tetapi aku kan tidak, kukumpulkanlah itu kotak-kotak sampai entah berapa banyak dan belum tahu akan dipakai buat apa selama bertahun-tahun lamanya.

Aku jadi ingat kalimat (yang entah pernah kudengar atau kubaca darimana, aku sudah lupa), “Kalau kita ingin membeli sebuah baju baru, hendaknya minimal kita juga mengeluarkan/membuang satu buah baju dari lemari supaya barang-barang tidak menumpuk.” Hal itu juga berlaku untuk barang-barang lain yang ingin  dibeli. Ini adalah kalimat yang bagus dan sangat benar, tetapi kenapa tidak coba kupraktekkan? Kenapa hanya tersimpan indah di memory saja?!


Ketika tempohari beberes itulah ternyata aku dibuat capek dan pusing sendiri dengan banyaknya barang-barang yang sebenarnya tidak diperlukan, sehingga akhirnya banyak yang kutinggal dan meminta tolong pada orang supaya membuang semua barang-barang itu.
“Pak Sofyan, nanti tolong diingat ya…, mana barang-barang yang saya bawa dan mana barang-barang yang saya tinggal. Yang saya tinggal itu terserah pak Sofyan, mau dibawa pulang, dibuang atau dijual. Pokoknya saya ingin rumah ini dibersihkan ya pak…” pesanku pada seseorang yang biasa kuminta tolong bantuannya buat benerin rumah, atap bocor, dan lain-lain.
Aku memang perlu berpesan begitu karena aku berangkat dua hari lebih dulu naik Kereta Api dibanding barang-barang yang akan dibawa pakai truk. Takutnya nanti barang-barang yang sudah nggak kepakai diangkutin semua ke truk.

Eh, sstt…. tapi…. ternyata, ketika aku ngobrol dengan seorang teman yang sudah bertahun-tahun tinggal di luar negri dan menikah dengan orang bule, kebiasaan menumpuk barang juga terjadi padanya.
“Aku malah pernah leles barang-barang yang dibuang tetanggaku, lha wong barangnya masih bagus-bagus, jadi pas aku lihat ya terus kuambil kubawa pulang…., dan sampai rumah aku dimarahi suamiku, hehehe… maklum, naluri indonesiaku masih kuat, budaya lelesnya masih belum hilang…” katanya. Aku tertawa, memang iya…. Aku juga bakalan tergiur melihat barang-barang bagus yang dibuang pemiliknya begitu, karena sebetulnya, terkadang barang-barang yang dibuang sama orang-orang bule itu bukannya karena rusak atau apa, tetapi ya karena mereka tidak punya tempat lagi untuk menyimpan barang-barang tadi. Tidak jarang barang-barang tadi malah masih baru dan belum pernah dipakai sebelumnya.
“Kalau dekat, mungkin aku bawa container deh buat leles barang-barang di sana dan kujual lagi di sini…” kataku pada temanku itu. Lumayan kan, ambilnya gratis terus dapat diuangkan, hehehe…
(Temanku itu, sampai sekarang katanya masih suka ambil buku-buku bacaan yang dibuang tetangganya, tapi dia diam-diam alias ngumpet dari suaminya,… hehehe…., kalau buku bacaan mah memang sayang kalau nggak diambil ya…., bacaan itu sumber informasi koq!)

Oke,… hap hap…!!, Mulai sekarang harus kutinggalkan budaya nyusuh dan lelesku itu. Simpan barang seperlunya saja supaya rumah tidak seperti memelihara tuyul, banyak onggokan barang di sana dan di sini. Berdayakan budaya minimalis barang. Kalau memang sayang banget sama barangnya, difoto saja, terus di simpan di FB atau di album.  Nanti kalau lagi rindu, pantengin deh itu gambar…, pelototin sampai puas. Hehehe…, semoga aku berhasil! Berhasil! Berhasil!!


Surabaya, 26 Februari 2014