Waktu beres-beres rumah ketika
mau pindahan tempohari, baru kusadari ternyata rumahku selama ini penuh sekali
dengan sampah, penuh dengan barang-barang yang harusnya sudah sejak lama dibuang,
dibakar, ataupun dilempar ke laut….., hehehe, kayak lagu ‘cewek matre cewek
matre… ke laut aje…’
Kebiasaan yang tidak perlu
dilestarikan dalam hidup dan tidak perlu kuturunkan pada anak cucu ini salah
satunya adalah; setiap saat selalu dan selalu membeli atau mengumpulkan
barang-barang yang tidak begitu perlu sehingga akhirnya menjadi gunungan barang
yang tidak terpakai. Suamiku juga begitu, banyak barang-barang elektronik yang
sudah masanya lewat, tapi tidak boleh dibuang. Katanya nanti masih bisa dipakai
koq, tinggal dibenerin ininya atau diganti itunya…, tapi pada kenyataannya
sampai bertahun-tahun ya hanya dibiarkan begitu saja menjadi sarang laba-laba.
Kadang-kadang dapat barangnya
juga nggak beli sih, dapat leles, biasanya ditanya teman atau saudara, “Mau
aquarium ini nggak? Kalau mau ambil saja, daripada dibuang…” kubawa pulanglah itu aquarium,
padahal yang di rumah juga sudah ada. Ngapain coba, sebab akhirnya aquarium itu
dijadikan tempat mainan oleh anakku.
“Itu ada TV yang sudah nggak
dipakai, kalau mau bawa pulang saja, di sini menuh-menuhin…”
Dan, masih banyak lagi yang
lainnya….., huft!!
Seperti sudah kebiasaan atau
malah sudah jadi budaya, aku selalu menyimpan barang-barang yang telah selesai
digunakan dengan alasan mungkin nanti suatu saat kita butuhkan, nyusuh, padahal
seharusnya barang tersebut kita buang saja supaya dapat dimanfaatkan atau
didaur ulang oleh yang lain. Contohnya saja adalah ketika membeli es cream yang
family pack. Harusnya kan setelah dimakan isinya, wadah es cream tadi dibuang
saja. Tetapi aku kan tidak, kukumpulkanlah itu kotak-kotak sampai entah berapa
banyak dan belum tahu akan dipakai buat apa selama bertahun-tahun lamanya.
Aku jadi ingat kalimat (yang
entah pernah kudengar atau kubaca darimana, aku sudah lupa), “Kalau kita ingin
membeli sebuah baju baru, hendaknya minimal kita juga mengeluarkan/membuang
satu buah baju dari lemari supaya barang-barang tidak menumpuk.” Hal itu juga
berlaku untuk barang-barang lain yang ingin dibeli. Ini adalah kalimat yang bagus dan
sangat benar, tetapi kenapa tidak coba kupraktekkan? Kenapa hanya tersimpan
indah di memory saja?!
Ketika tempohari beberes itulah
ternyata aku dibuat capek dan pusing sendiri dengan banyaknya barang-barang yang
sebenarnya tidak diperlukan, sehingga akhirnya banyak yang kutinggal dan
meminta tolong pada orang supaya membuang semua barang-barang itu.
“Pak Sofyan, nanti tolong diingat
ya…, mana barang-barang yang saya bawa dan mana barang-barang yang saya
tinggal. Yang saya tinggal itu terserah pak Sofyan, mau dibawa pulang, dibuang
atau dijual. Pokoknya saya ingin rumah ini dibersihkan ya pak…” pesanku pada
seseorang yang biasa kuminta tolong bantuannya buat benerin rumah, atap bocor,
dan lain-lain.
Aku memang perlu berpesan begitu
karena aku berangkat dua hari lebih dulu naik Kereta Api dibanding barang-barang
yang akan dibawa pakai truk. Takutnya nanti barang-barang yang sudah nggak
kepakai diangkutin semua ke truk.
Eh, sstt…. tapi…. ternyata,
ketika aku ngobrol dengan seorang teman yang sudah bertahun-tahun tinggal di
luar negri dan menikah dengan orang bule, kebiasaan menumpuk barang juga
terjadi padanya.
“Aku malah pernah leles
barang-barang yang dibuang tetanggaku, lha wong barangnya masih bagus-bagus,
jadi pas aku lihat ya terus kuambil kubawa pulang…., dan sampai rumah aku
dimarahi suamiku, hehehe… maklum, naluri indonesiaku masih kuat, budaya
lelesnya masih belum hilang…” katanya. Aku tertawa, memang iya…. Aku juga
bakalan tergiur melihat barang-barang bagus yang dibuang pemiliknya begitu,
karena sebetulnya, terkadang barang-barang yang dibuang sama orang-orang bule
itu bukannya karena rusak atau apa, tetapi ya karena mereka tidak punya tempat
lagi untuk menyimpan barang-barang tadi. Tidak jarang barang-barang tadi malah
masih baru dan belum pernah dipakai sebelumnya.
“Kalau dekat, mungkin aku bawa container
deh buat leles barang-barang di sana dan kujual lagi di sini…” kataku pada
temanku itu. Lumayan kan, ambilnya gratis terus dapat diuangkan, hehehe…
(Temanku itu, sampai sekarang
katanya masih suka ambil buku-buku bacaan yang dibuang tetangganya, tapi dia
diam-diam alias ngumpet dari suaminya,… hehehe…., kalau buku bacaan mah memang sayang
kalau nggak diambil ya…., bacaan itu sumber informasi koq!)
Oke,… hap hap…!!, Mulai sekarang
harus kutinggalkan budaya nyusuh dan lelesku itu. Simpan barang seperlunya saja
supaya rumah tidak seperti memelihara tuyul, banyak onggokan barang di sana dan
di sini. Berdayakan budaya minimalis barang. Kalau memang sayang banget sama
barangnya, difoto saja, terus di simpan di FB atau di album. Nanti kalau lagi rindu, pantengin deh itu
gambar…, pelototin sampai puas. Hehehe…, semoga aku berhasil! Berhasil!
Berhasil!!
Surabaya, 26 Februari 2014