Rabu, 01 Agustus 2018

CERPEN Judul : KADALUARSA




Hati Lilian kacau, dingin dan membeku seperti di kutub. Bete tingkat apa ya, super duper dewa deh pokoknya. Geliat si jago merah yang menjilat ranting kayupun seakan tak mampu menghangatkannya. Hanya suara gemerataknya saja yang mengibaratkan gemeratak hati Lilian saat ini. Sedangkan semangat 45 yang semula mengiringi langkahnya mendaki Gunung Panderman hari ini juga sudah menguap entah ke mana. Wuzzz….

“Selow Lian…, nggak usah dimasukin hati. Namanya juga nggak sengaja. Jangan cemberut terus gitu dong!” Ardhi yang duduk tepat didepan Lilian di seberang api unggun mencoba menetralkan hati Lilian yang galau.
“Yups, kita nyanyi aja yukss….. “ Timpal Fahmi sambil mulai memetik senar gitarnya.
“Tadi tuh just kidding Lian…, fine kita baik-baik aja koq…, nggak ada yang sakit. Yekan guysssss?!” Via ikut bersuara.
“Siiipp…!!! Spesial pake telor!!” Jawab Fahmi. Ucup dan Lala mengacungkan jempolnya.

Lilian tetap diam meringkuk, memeluk lutut dengan pandangan ke arah api unggun. Berpura-pura dalam hati kalau asaplah yang memerihkan matanya sehingga mengakibatkan tetesan air dari sudutnya. Hiks. Kenapa semua orang membuatnya kesal dan sedih hari ini, pikirnya.  Lilian jadi merasa sendirian di dunia.

Sekarang enak aja mereka bilang bercanda, just kidding. Nggak mikirin gimana perasaanku lihat Ardhi dan Ucup tiba-tiba berkelojotan sambil berguling-guling karena sakit perut. Mata melotot dan terbalik ke atas. Menggeram-geram. Membuat Lilian panik dan menangis bombay kebingungan karena mereka habis minum kopi yang dibuatkannya. Huh, Lilian mendengus, gagal paham dengan mereka. Di tengah hutan koq bercandanya begituan.

Sementara itu, lagu balada yang didendangkan Fahmi menyeruak pekatnya malam di tengah hutan ini. Sebetulnya sih, sejujurnya, suasana malam jadi syahdu karenanya…., pelan-pelan mulai menghanyutkan, menghangatkan, dan membasahi hatinya. Begitu indah, menyatu dengan alam…., harmoni sekali. Sesekali yang lain juga ikut menimpali.

Itu kondisi kalau Lilian mau jujur. Tapi kan ceritanya sekarang Lilian sedang masygul, badmood, bete, jengkel, marah, kesal, de-el-el, maka diapun tetap mengeraskan hatinya. Berusaha menutup telinganya dari alunan lagu itu. Dasar keras kepala memang.

Kepada angin dan burung-burung, matahari bernyanyi. Tentang daun dan embun jatuh, sebelum langit terbuka.
Kepada angin dan burung-burung, kunyanyikan lagu ini. Tentang asmara yang biru, yang mewarnai lukisan di dinding. Sebuah hati tanpa pigura, tergantung sendiri dan berdebu.
Kepada angin dan burung-burung, mengerti irama ini. Seorang lelaki yang merindukan, matahari terus bernyanyi.
Apakah angin tetap bertiup, bersama jatuhnya daun. Apakah burung akan tetap terbang, di langit yang terbuka.

Betapapun kerasnya Lilian mengunci telinganya, alunan lagu itu tetap juga berhasil menerobos masuk. Sebuah lagu lawas tentang alam yang dinyanyikan Franky & Jane. Lagu jaman mamanya Lilian dulu, tapi tetap oke juga dinyanyikan di hutan dan gunung-gunung seperti sekarang. Daripada tiba-tiba di tengah hutan dengar lagu cadas. Bisa-bisa semua penghuni hutan ikut kerasukan deh.

“Assalamualaikum…” Tiba-tiba terdengar salam dari arah belakang.
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarohkatuh……” Serentak semua menjawab. Lilian menengok ke arah belakang dan terpaku melihat dua orang cowok yang ada di belakangnya.

“Alhamdulillah, Allah Maha Besar, mengirimkan dokter ke tengah hutan di tengah malam begini…” Via berdiri dan langsung menggamit lengan salah seorang cowok tadi dan diajak duduk di depannya.
“Nih, Lian…., perhatiin ya…, biar kamu lega…” Kata Via.
“Dokter, tanda-tanda orang keracunan itu apa aja?” Tanya Via.
“Ini ada apa deh,… Baru juga datang...” Kata cowok yang dipanggil dokter itu sambil tertawa. Sementara teman yang tadi datang bersamanya, duduk di samping Lilian.
“Oke, kujelasin dikit ya…. Begini. Tadi tuh kita semua ga sengaja habis minum minuman sachet yang ternyata sudah kadaluarsa. Sekarang tolong periksa aku, ada tanda keracunan ga?”
“Keracunan? Ah, yang bener…. Lagian, ngapain juga kalian minum minuman kadaluarsa?”
“Dokter, kamu tadi dengar kalimatku ga sih? Kita ga sengaja. Ga-se-nga-ja.” Kata Via melotot.
“Sebentar dong, aku belum kenalan nih…” Katanya sambil menyalami semua satu-satu.
“Hallo, selamat malam semuanya, saya Dewa. Temannya Via dan Lilian…. Teman saya itu namanya Nizar…”
“Hai…”
“Haai…”
“Haii…”
“Hai…”

Ya, cowok itu adalah Dewa. Manusia setengah gila yang selama ini sering menemani hari-hari Lilian. Manusia yang sering mengajaknya tertawa dan berantem, berseru-seruan. Manusia yang dapat diajaknya bercerita apa saja, tentang teman kuliah, tentang mode, tentang politik, dan semua-mua, partner of crime deh.  Salah satu manusia yang tidak diharapkan Lilian pergi darinya, karena dia satu-satunya manusia yang punya detak irama sama dengannya. Sayangnya partneran mereka hanya sebatas itu dan Lilian juga tidak faham, kenapa ya?

Tapi sekarang mereka lagi berantem karena tadi pagi Dewa melarangnya naik ke Panderman tanpa alasan yang jelas, dan Lilian nekat tetap berangkat.
“Kali ini nggak usah pergi kenapa?” Balas Dewa pada chatt Lilian yang mengatakan kalau siang ini dia akan ke Gunung Panderman dengan teman-teman SMA nya dulu.
“Emang kenapa?” Tanya Lilian sambil mengirimkan emotion heran.
“Nggak usah aja….”
“Jangan aneh deh…” Lilian membalas ditambah emotion kesal tiga biji.
“Please…” Balas Dewa. Tapi hanya di read doang sama Lilian, dan dibiarkan saja sampai saat ini.

Beberapa chatt Dewa selanjutnya juga digratisin sama Lilian. Jengkel banget dia kalau Dewa tiba-tiba aneh seperti ini. Seingat Lilian, nggak cuma sekali dua deh tiba-tiba Dewa melarangnya melakukan sesuatu tanpa alasan yang jelas dan ujung-ujungnya mereka berantem. Nggak saling chatt atau ketemuan sampai berhari-hari.

“Tamu ga disuguhin minum nih?” Tanya Dewa pada Via, membuyarkan angan Lilian tentang Dewa.
“Nggak ada apa-apa di sini…, air putih doang mau?” Wajah Lilian kembali mengerut mendengar jawaban spontan Via.
“Kasihan amat sih. Aku ada banyak,…  di tenda tapi…”
“Pasang tenda di mana?! Sejak kapan di sini?” cerocos Via.
“Tuh, di situ…., nggak jauh koq, dan belum lama. Baru setengah jam lalu kita nyampe. Zar, tolong ambil logistic kita deh…” Dewa menengok ke Nizar.
“Nah, sambil nunggu Nizar, kita balik ke pokok permasalahan ya…. Buruan periksa aku…” kata Via. “La, sini La…, kita ngantri diperiksa…” Sambungnya sambil menggeser tempat duduknya.
“Haduuuh…., ada-ada aja sih… Kamu pusing ga?” Via menggeleng.
“Mual? Sakit perut?” Via tetap menggeleng.
“Yang lain?” Dewa melihat berkeliling. Semua menggeleng. Fahmi dan Ucup mengacungkan jempol tanda baik-baik saja.
“Ya udah, berarti ga papa…” Kata Dewa.
“Syudaaah?? Gitu ajaaa??? Kamu dokter beneran bukan sih?” Cecar Via.
“Hahaha…., belum sepenuhnya. Kan kamu tau sendiri kalau aku masih koas…” Jawab Dewa renyah.

Nizar datang sambil menyerahkan bungkusan kantong plastik dan menyerahkannya pada Via. Via menyerahkan ke Lala yang langsung bangkit ke tenda mengambil beberapa gelas. Untung ada air panas yang dari tadi dijerang di kompor portable. Kalau nggak kan bisa lama lagi tuh nunggu kopinya….

“Dengar sendiri kan Lian, kata pak dokter kita ga papa…. Kan sudah kubilang daritadi kalau kita semua baik-baik saja. Kamu sih belum apa-apa sudah mewek duluan…” Kata Via.
Mendengar itu Dewa langsung menengok ke arah Lilian dengan pandangan bertanya. Lilian menghindari pandangan Dewa. Melengos. Males. Pasti nanti diceramahin lagi, pikir Lilian. Ngapain juga harus jauh-jauh ke gunung kalau hanya untuk dengar ceramah Dewa.

“Ya untunglah kalian ga papa. Alhamdulillah. Kalau kenapa-napa kan aku yang masuk penjara 20 tahun…” Setelah beberapa jelang, akhirnya Lilian menjawab lirih. Semua yang mendengar kontan bercericit, bersuit-suit mendengar kata-kata Lilian yang lebay menyamakan kisah malam ini dengan kopi bersianida, hahaha…

“Gimana sih ceritanya koq kamu yang bisa masuk penjara Lian?” Tanya Nizar. Sejenak semua terdiam, hening, ----mungkin seperti di kuburan----, atau seolah sedang mengheningkan cipta, kemudian saling melempar pandang. Clap clap clap.
Kali ini petikan sinar gitar Fahmi mendendangkan lagu Perempuan dalam Pelukannya Payung Teduh. Melepas angan untuk berimajinasi romantis.

“Hmmmm, sebenarnya ga separah itulah. Ini agak lebay aja….” Akhirnya Ardhi yang buka suara.
“Ceritanya kan Lilian yang kebagian belanja logistic. Nah, entah di mana dia belanja, ternyata rata-rata semua minuman sachet yang dia beli tuh sudah kadaluarsa. Malah ada yang expirednya sejak 6 bulan yang lalu. Kita taunya tuh pas minum rasanya beda. Pas diperiksa bungkusnya. Taraaa….”

“Btw kita ga ada yang salahin Lilian koq, kita maklum kalau dia ga sengaja, cuma lain kali kalau belanja apa-apa, kita memang harus lebih teliti…., tapi dianya sudah baper duluan…”
“Dan tadi kita memang sempat acting buat godain Lilian, kita pura-pura gegulingan sakit perut, terus dianya panik, nangis-nangis… Terus ngambek deh sampai sekarang…”

Dewa mendengarkan cerita Ardhi sambil sesekali memandang ke arah Lilian. Yang dipandang tetap melengos. Nizar mengangguk-angguk macam burung hantu. Kukuk kukuk.

Tak lamapun Lala membagikan gelas kopinya. Alhamdulillah. Semua bersyukur dan berterimakasih karena akhirnya malam ini dapat minum air hangat berwarna, bukan air putih hangat doang.
“Nih, kopinya. Tapi ngomong-ngomong, itu tadi kan cappucino ya…. Koq ga ada granule-nya sih?” Tanyanya pada Nizar.
“Granule? Oh, itu sih tanya sama Dewa tuh…” Jawab Nizar.

Dewa tidak langsung menjawab, tapi beralih duduk ke samping Lilian, “Granule-nya ada di sini.” Katanya sambil menunjuk mug yang dari tadi digenggamnya.

“Oke semuanya…., sebetulnya ada yang ingin kusampaikan pada Lilian malam ini. Kalian teman-teman baiknya kan…, kalian saksiin ya…..” Lilian merasa sesuatu bergejolak di perutnya. Seperti ada yang berenang-renang dalam perutnya ----mungkin seekor naga atau katak----. Dadanya berdebar-debar seperti mau copot. Gludak gludak ----mungkin persis gejala keracunan----.
“Macam sinetron deh… ” Celetuk Via. Bawel memang dia ini. Fahmi menghentikan petikan gitarnya dan serius ikut mendengarkan.

“Aku kenal Lilian sudah cukup lama, hampir tiga tahun. Biasanya aku panggil dia A-lien sebab bagiku dia sama misteriusnya dengan A-lien yang dari sono tuh…” Katanya sambil menunjuk bintang. Lilian mengorek-orek tanah di depannya dengan sebatang ranting kecil membentuk lingkaran dan spiral-spiral yang nggak jelas.

“Lilian ini selalu berpenampilan strong, mandiri, galak, wonder woman, seolah bisa mengatasi dunia sendirian…, padahal seperti kalian tau sendiri kan kalau dia itu sebenarnya lemah, lembut dan baik hatinya, gampang mewek kayak tadi. Selama ini aku berusaha membiarkan dia dengan mengikuti saja apa maunya.”
“Tapi belakangan ini aku merasa nggak sanggup lagi.”
“Aku nggak sanggup bertahan…., untuk sekedar sebagai temannya, sahabatnya, terjebak dalam friendzone…..” Dug dug dug…, dada lilian semakin bertalu. Ada barisan drumband dalam dadanya.

“Terus, maunya gimana? Setelah tiga tahun, baru sekarang kamu mau tembak dia? Kadaluarsa juga deh lo…. Kayak kopi Lilian tadi. Bener-bener kalian sehati memang.” Kata Fahmi. Jrenggg!!! Fahmi menjentik senar gitarnya. OMG. Haduuuhhhh…..!!!
Ïya nih, muter-muter kelamaan..., to the point aja deh..." Samber Via.

Dewa tertawa, “Kuharap semuanya belum kadaluarsa…, makanya malam ini aku nekat nyusul kemari. Gimana A-lien, mulai sekarang maukah kau biarkan aku menjagamu, menjaga hatimu?”
“Kalau menurutmu semua ini masih belum kadaluarsa dan kamu mau menerimaku, tolong terima ini…” Kata Dewa sambil menyerahkan dan membuka tutup mug stainles yang dipegangnya.

Dasar kepo, Via ikutan meloncat dan melongok ke dalam mug itu. Tuing tuing!!
Dalam mug itu ada cappucino dengan tulisan ‘A-lien, I love You’ yang terbuat dari granule di atasnya. Kata ‘love’ nya adalah kepala ‘alien’ yang berbentuk hati dengan dua mata serangga yang besar.

“Oooh, so sweet…. Cepat ambil Lian, kalau tidak, aku nih yang ambil…” Seru Via. Ngarep dia.
Sambil menahan panas di pipi, Lilian menerima mug dari tangan Dewa. Kedua tangannya lemas dan agak bergetar ----mungkin gejala orang kena stroke seperti ini---- Kepalanya terasa ringan, sementara dadanya sudah mulai reda. Ya, Lilian mau. Lilian mau Dewa menjaga hatinya, benar-benar menjadi bagian hidupnya. Bukan hanya diluar lingkaran seperti selama ini. Baru sadar kalau Lilian memang butuh ini.

Tepuk tangan dan suitan usilpun menggema di tengah hutan yang gelap ini, menghangatkan hati Lilian, mencerahkan wajahnya seperti bintang-bintang di atas sana, sebelum akhirnya mereka satu demi satu beringsut masuk ke tenda masing-masing, meninggalkan sepasang hati yang sedang berbunga. Cupidpun menari-nari di atas kepala mereka.

“Boleh diminum?”Tanya Lilian sambil tersipu. Semua gejala penyakit menakutkan yang tadi menyerangnya tiba-tiba saja sudah menghilang ----mungkin takut pada dokter cinta Lilian, hehehe----.
Dewa mengangguk dan mengelus rambutnya, “Buat kamu…” Katanya.


                                    ***                  Selesai      ***



 Buat Tugas kuliah Kk