Beberapa hari lalu aku menerima
SMS dari sahabat lama, --- teman nongkrong di DKS (Dewan Kesenian Surabaya)
puluhan tahun silam ketika aku masih kuliah, yaitu seorang penulis yang bernama
Henri Nurcahyo (http://radiobuku.com/2010/03/henri-nurcahyo-sepuluh-lembar-untuk-sahabat-pena/),
--- yang isinya mengatakan kalau dia sedang ada di Bogor sampai 3 hari ke depan
untuk meliput Pameran Bonsai Nasional yang diadakan di halaman Bekas Kantor
Kabupaten Bogor di Jl. Veteran Bogor.
Mumpung kerjaanku agak bisa kucuekin,
maka akupun mencuri waktu dan menyempatkan diri untuk menemui sahabat lamaku
ini. Sehingga ketika pulang dari kantor aku langsung bablas ke Bogor tidak turun di
Stasiun tempat tinggalku yang masih dua stasiun lagi ke Bogor.
Kalau kuingat-ingat, ternyata cukup lama juga aku tidak menginjakkan kaki
di Stasiun Bogor, yang mengakibatkan aku ketinggalan jaman dan tidak tahu perubahan terakhirnya seperti apa,
teristimewa sejak terjadi perombakan pengelolaan atau istilah kasarnya
pembersihan pedagang-pedagang dari area stasiun seluruh wilayah Jabodetabek.
Hasilnya, akupun lumayan kaget melihat suasana Stasiun Bogor
yang sekarang tampak benar-benar seperti Stasiun Kereta betulan, bukan Pasar
seperti biasanya… hehehe…
Dulu, suasana di dalam stasiun
seperti berada di dalam suatu tempat tertutup karena di sepanjang kanan dan
kiri tertutup bangunan-bangunan/warung-warung/toko-toko/kios-kios, dan
lain-lain.
Sekarang, suasana stasiun terasa
lega sekali. Tidak ada bangunan pedagang yang selama ini membuat suasana
seperti terisolir. Tempat itu sekarang menjadi area parkir kendaraan bermotor
(mobil dan motor) yang luas. Bahkan jembatan penyebrangan dan jalan raya di
depan kantor PLN itu terlihat jelas.
Aku berjalan kaki ke arah Jembatan Merah kemudian
menyeberang jalan dan meneruskan perjalanan menuju Mall Bogor Trade World yang
dulu….., ketika aku masih sering mengantarkan
anakku sekolah di Jalan Polisi, bangunan ini belum ada.
Akhirnya kutemukan juga sahabat
lamaku itu. Memakai baju putih, topi pet, dan memegang kamera, penampilan khas
wartawan… hehehe…. (dia dulu memang wartawan beberapa media cetak terkemuka di
Surabaya).
Masih seperti dulu…., hanya
rambut putihnyalah yang membedakan bahwa kami sekarang sudah berada di jaman
yang berbeda pula…. (Dia boleh jadi tua dan beruban, tapi kalau aku, aku masih
merasa berumur 18 tahun tuh…. Hehehe….)
Obrolan tak berujung tak
berpangkalpun bergulir lepas. Membahas semua-mua….., mulai dari keluarga,
pekerjaan, teman-teman dari masa lalu, sampai hal-hal sekarang, hal-hal nanti,
dan apa-apa yang masih jadi mimpi buat kami…
Nostalgia, mengorek kembali semua
kenangan masa lalu itu sungguh indah. Masa-masa baru mulai belajar hidup dan
mengais pelajaran dari sana-sini.
Terus terang, masa kuliahku dulu
kurasa hanya 20% belajar di kampus (akademis), 30% di Sekretariat Pecinta Alam Wanala,
30% di DKS, 20% di mana-mana….
“Kerjaanmu sekarang ini kan
kerjaan jaman mahasiswa dulu, kenapa koq sampai sekarang masih kamu kerjakan.
Harusnya kan kamu anteng di kantor…. “ katanya.
“Waduh, kayaknya aku gak cocok
jadi orang kantoran deh…, sudah beberapa kali pernah kucoba dan ternyata gak
betah….. Malah, ada saatnya aku malah harus berantem dengan seseorang gara-gara
cara mikir yang gak sama…” jawabku.
“Yang sekarang ini sudah berapa
lama, koq betah lho?!” tanyanya lagi.
“Di sini belum ada yang nggarai…,
lagian ini kan bukan kerja kantoran…” jawabku.
“Hahahahaaaa……” kami tertawa bareng.
Mungkin dia menertawakan kekeras-kepalaanku, aku sendiri menertawakan apa ya?!
Ah, pokoknya tertawa sajalah….
Obrolan kami banyak memakai
bahasa Suroboyoan, jadi orang-orang yang mendengar obrolan kami pasti tahu
kalau kami orang Surabaya. Bahasa Derah yang khas, meledak-ledak, ramai, dan
ekspresif…. (Bangga banget aku!)
Hari menjelang gelap,
lampu-lampupun mulai menggantikan tugas matahari. Itu semua mengingatkan pada kami bahwa
kamipun harus menyudahi pertemuan ini untuk kembali ke asal masing-masing,
hehehe….
Bogor, 1 September 2013