Kamis, 26 Mei 2016

Sukabumi, Bogor, Bekasi jilid 2






Kemarin kan sudah tuh, cerita tentang perjalanan kerjaku di Sukabumi. Nah sekarang aku mau lanjut cerita kisahku selama di Bogor ya…


Keluar dari hotel, aku, Kiky, dan Puput berencana langsung menghadang mobil Elf yang katanya jurusan Sukabumi Bogor dan lewat depan hotel. Beruntung kami tidak perlu jalan terlalu jauh, cukup beberapa meter saja sudah di jalan raya.
Pada saat itulah tiba-tiba berhenti sebuah motor di depan kami.
“Assalamualaikum…” sapa pengendara motor itu begitu turun dari motornya.
“Waalaikum salam wr wr….. A Rahmat…” jawab kami serempak dan setengah surprise ketika melihat siapa yang datang.
Ternyata dia Rahmat, salah satu staff GNI Sukabumi yang arah rumahnya memang melewati hotel kalau dia akan berangkat ke kantor.
“Sudah akan berangkat bu Aan, mbak Kiky, dan mbak Puput?” tanyanya.
“Iya nih A, aku gak jadi minta tolong cariin angkot, sebab kata mbak Myra naik Elf aja sampai Baranangsiang…” jawab Kiky.
“Iya, naik Elf aja…., itu langsung ke Bogor…” kata rahmat menegaskan. “Tuh mobilnya…” katanya sambil menunjuk mobil yang kebetulan berhenti.
“Makasih ya A…., maafkan kalau kita ngrepotin selama di sini…”
“Sama-sama, makasih juga…, selamat jalan semoga selamat sampai tujuan…”


Kamipun naik ke mobil Elf dan cusss meninggalkan Sukabumi yang sudah menjadi rumah kami seminggu ini. Tetapi sayangnya, cusnya agak tersendat karena macetttt yang amat sangat ketika kami sampai di sekitar daerah  Lido, atau apa ya… yang banyak pabrik deh pokoknya. Di situ, di jalan itu, antara motor, mobil, dan manusia, semua berebut jalan. Suara bising kendaraan masih ditambah suara klakson yang saling bersahutan. Ribet banget. Kurasa supir-supir  di sini bisa stress dan tekanan darah tinggi semua deh.


Sampai pada akhirnya ketika kami berhasil lolos dari lubang semut itu, eh nggak jauh dari situ tampak di depan sana kemacetan kembali menghadang. Supirnya langsung putar balik dan masuk ke jalan alternative.


Jalan alternative ini kondisinya agak sempit, naik turun dan ekstreem, agak memaksa kalau harus berpapasan dengan mobil lain. Pemandangan sawah dan suasana pedesaan ada di sekeliling. Kiri tebing dan kanan jurang atau sungai sudahlah biasa.


Mobil melenggang dengan santai. Tapi begitu sampai di pertigaan, si supir berhenti, ragu-ragu sambil ngomong sendiri, “Lah…. Ka luhur ka handap nya?”
Kami para penumpang semua terdiam. Kirain sih si supir paham lokasi. Ketika kebetulan ada orang lewat, si supir bertanya arah ke Cihideung yang ternyata ke kanan/ka handap.


Cerita tidak berhenti sampai di sini, karena rupanya akan masih ada banyak pertigaan yang kita lalui dan si supir selalu ngomong sendiri; ka luhur ka handap? Ka luhur ka handap? Rupanya dia sama seperti penumpangnya yang tidak tahu ada di mana kita saat itu…., hehehe…


Setelah melewati berbagai kemacetan lagi yang ternyata sudah masuk wilayah Bogor, akhirnya kami sampai di Baranangsiang.


Kiky melanjutkan naik angkot menuju Stasiun Kereta Api karena akan kembali ke Jakarta. Tugasnya hanya di Sukabumi, jadi dia tidak ikut ke Bogor.
Aku dan Puput menunggu mobil Mas Inang yang akan menumpangi kami sampai ke Kantor CDP GNI Bogor di Cigudeg.
(beruntung sekali punya teamleader seperti Mas Inang yang mau mengajak kami bareng-bareng sehingga kami nggak kececeran sendiri-sendiri menuju lokasi. Makasih banyak ya Mas Inang…)


Sampai di kantor CDP GNI Bogor, kami masing-masing dibagi wilayah survey, mau ditaruh desa mana desa mana. Selanjutnya dengan diantar mobil dan supir kantor, malam itu juga kami naik selama dua jam perjalanan melewati hutan sawit, hutan beneran, hutan macam-macam untuk menuju lokasi. Di luar mobil nggak kelihatan makhluk hidup lain selain kita, gelap, dan jalanan banyak berliku. Mana hujan lagi. Serem-serem seru.


Dua jam perjalanan naik itu seolah dua hari lamanya. Saking jauhnya dari peradaban dan keramaian. Desa tujuan kami adalah Cileuksa. Alhamdulillahnya, jalanan beraspal lumayan bagus. Itu katanya, karena ada Ketua DPRD Bogor yang rumahnya di situ.


Kali ini penginapan kami adalah di rumah-rumah penduduk, bukan di hotel seperti di Sukabumi kemarin, hehehe…



Kondisi rumahnya termasuk lumayanlah untuk lokasi yang sungguh jauh di atas gunung begini. Airnya air sumber yang mengalir ke tiap rumah dengan selang dan ditampung di masing-masing kamar mandi warga yang penutupnya bukan dari kran plastic atau logam, tetapi sumbat kayu. WC nya juga permanent, bukan asal cemplung.
Asyiknya lagi, rumah ini masih memasak dengan menggunakan perapian kayu/tungku berbahan bakar kayu dengan para-para dari anyaman bamboo di atasnya. Persis di desa neneknya ibuku duluuuu….



Penduduknya ramah-ramah dengan bahasa sunda yang masih sangat kental (huaa…., aku hanya ngerti sedikit sekali bahasa sunda, selebihnya blank..). Si Nenek yang rumahnya kutumpangi tidur, selalu menggunakan bahasa sunda setiap berinteraksi, seolah aku mengerti semua kata-katanya….., maafkan aku ya Nek, yang pura-pura mengerti semua cerita Nenek….hiks…


Nenek ini baik banget. Tiap pagi selalu menyiapkan air putih hangat dengan gorengan singkong atau pisang. Malamnya, ada nasi, sambal terasi, rebusan daun singkong, dan pepes tahu. Ini sungguh alhamdulillah banget, sebab di desa ini langka penjual makanan matang, apalagi kalau malam….


Tentang respondenku nih, ternyata anak-anak di desa ini geulis-geulis dan kasep. Bener, cantik-cantik, bersih, clink…
Mereka juga cukup berani dalam mengutarakan pendapat, walaupun sayangnya setiap ditanya cita-cita, jawabannya rata-rata jawaban standard; jadi guru atau dokter. Rupanya hanya  profesi itu yang familiar buat mereka.
Tapi ini menarik juga karena tidak ada yang menjawab ingin jadi seperti ayahnya yang rata-rata bekerja sebagai buruh tani atau gurandil penambang emas illegal.
Tentang profesi yang terakhir (gurandil), sebetulnya menurutku agak memprihatinkan.


Seorang respondenku (ibu dari salah seorang anak sponsor) sempat kutanya agak lebih tentang profesi alm suaminya yang bekerja sebagai gurandil ini. Kebetulan saat aku selesai wawancara, hujan turun deras banget, jadi sambil numpang berteduh, aku bertanya-tanya sedikit.


Suaminya meninggal belum terlalu lama, baru beberapa bulan yang lalu karena sakit. Tadinya di samping rumahnya ada peralatan menggiling tanah untuk mencari emas, tapi sudah dijual setelah suaminya meninggal.
“Maaf, saya pingin tahu bu…., gimana caranya untuk tahu (mendeteksi) bahwa tanah yang diambil berkarung-karung itu ada emasnya atau tidak?” tanyaku penasaran.
“Kan mereka bawa piring bu…, jadi tiap lokasi dikikis sedikit untuk dilihat apakah mengandung emas atau tidak. Kalau kelihatannya ada emasnya, ya tanah di sekitarnya digali untuk dibawa.”
“Kemudian, setelah dibawa, apakah benar akan selalu ada emasnya?” tanyaku.
“Nggak tentu bu… Terkadang sampai 5 karung yang dibawa juga nggak ada emasnya…”
“Kalau misalnya ada emasnya, dalam satu karung sampai dapat berapa banyak?”
“Nggak tentu juga bu, terkadang ada juga yang bias dapat satu gram…”
“Terus, satu gram dijual berapa?”
“Dua ratus ribu…”
“Berapa kali dalam sebulan bisa dapat satu gram itu?”
“Nggak tentu juga bu, kadang sekali…, kadang nggak ada sama sekali…”
Aku menghela nafas dalam-dalam.
Bayangkan, dengan kondisi seperti itu, kenapa profesi seperti ini harus terus dipertahankan?


Memang, pernah ada satu atau dua orang yang berhasil mendapatkan emas dalam jumlah besar sehingga dapat membangun rumah laiknya istana (kami sempat ditunjukkan kemegahan rumah gurandil yang berhasil itu ketika dalam perjalanan ke Cipanas).
Nah, keberhasilan gurandil itu seperti magnet buat gurandil-gurandil yang lain untuk tetap menjalankan profesinya, yang bagiku seolah mengejar ilusi/mimpi saja.


Sempat juga mas Inang mempertanyakan angka kematian lelaki dewasa karena sakit yang bukan disebabkan penyakit menular yang tercatat agak banyak. Ini karena apa? Apakah ada hubungannya dengan zat kimia yang dipakai dalam rangka mencari dan mengolah emas ini? Pertanyaan yang belum terjawab sampai kami meninggalkan lokasi ini.


Perlu dicatat, di desa ini hanya ada satu SD Negri, dan SMP Negri kelas jauh yang tiap minggu bergantian lokasinya di dua desa karena kondisinya masih menumpang di gedung SD Negri tadi. Tidak ada SMA di sini. Tidak ada guru SMA di sini. SMA terdekat ada di satu jam perjalanan turun ke desa bawah, dengan ongkos ojek sekali naik Rp. 30.000,-
Ada gedung Kesehatan sederhana (semacam tempat berobat tapi belum setingkat puskesmas) yang tidak berfungsi karena tidak ada tenaga medis yang mau bertugas di sini.
Yang parah lagi desa yang masih di atas sana, katanya kalau ada orang yang sakit, mereka (penduduk) terpaksa membawa pasien dengan tandu dari bamboo yang digantungi kain sarung, dan membawanya turun dengan berjalan kaki nyaris seharian demi mencapai puskesmas terdekat.
Helloo…., ini di Bogor lho ya…., masih di pulau Jawa.



Jadi jangan salahkan kalau tingkat pendidikan di sini cukup rendah. Tidak perlu ke SMA karena biaya tidak ada…. (jangankan mereka yang tinggal di tempat susah transportasi begini, aku sendiri aja kalau misalnya tiap hari harus mengeluarkan ongkos ojek enam puluh ribu, ya bisa mencret-mencret…., ini tidak termasuk buat yang banyak duit lho ya…, sebab yang banyak duit bisa beli motor).


Salah seorang respondenku yang lain mengatakan, bahwa anak-anak perempuan di desa ini yang tidak mampu sih merasa sudah cukup sekolah sampai lulus SD saja dan kemudian pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Aku sempat tercenung mendengarnya, kemudian kutanya, “ Begini bu,  maaf,saya mau tanya nih…., setelah lulus SD kemudian pergi ke kota untuk mencari pekerjaan. Kira-kira pekerjaan macam apa yang ibu harapkan dengan pendidikan yang lulus SD itu?”
“Ya pekerjaan rumah tangga bu….” Jawabnya.
“Maksudnya?” aku penasaran.
“Jadi pembantu bu….”
Speechless deh.


Mungkin, sekali lagi mungkin nih, solusinya adalah menyediakan tempat (rumah kontrakan) yang diusahakan pemerintah desa untuk anak-anak yang kurang mampu di desa tempat SMAN  berada buat mereka yang memang berprestasi atau benar-benar ingin meneruskan sekolah. Semacam pondokan dengan biaya terjangkau begitulah.


Demikian juga untuk tenaga medis. Mungkin pemerintah desa dapat menyekolahkan anak-anak yang berbakat di bidang medis dengan ikatan dinas (atau sejenisnya) supaya kelak kalau lulus, mereka dapat bertugas di desanya sendiri.


Sekarang, hubungannya dengan GNI, kalau secara umum, masyarakat di wilayah binaan CDP GNI Bogor ini menyadari bahwa GNI tidak dapat terus-terusan ada di wilayah ini untuk membantu mereka, dan mereka juga punya keinginan supaya dapat swadaya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak tergantung pihak lain.


Ada salah satu hal yang cukup membanggakan, yaitu masyarakat sudah punya produk andalan yang dapat dijual ke luar desa, yaitu Kripik Pisang dengan merek “Cauleksa” yang rasanya sudah lumayan. Ada juga penanaman TOGA yang mulai dijalankan. Kalau yang lain belum kelihatan sih, tapi semoga produk lainnya segera menyusul sehingga keinginan untuk menjadi desa swadaya dapat secepatnya tercapai.
(kalau sistemnya terus berjalan, walaupun GNI sudah tidak di sana, Insya Allah yang ini tetap dapat berlanjut)


Di CDP GNI Bogor ini, staff nya ternyata laki-laki semua, dan mereka adalah anak-anak muda yang berpotensi, serta dapat diandalkan. Bravo buat kalian ya…. (Anto, Jarot, Dodo, Mang Ucup, Herry, Dewa, Yadi, ada juga Mang Odot driver, serta beberapa orang volunteer)



Bertugas di wilayah ini, sungguh mengagumkan. Seolah tepat di bawah langit, di ujung dunia. Pemandangan yang terpampang di depan mata adalah keajaiban dunia, kebesaran Allah SWT. Sungguh tidak terlupakan. Kalau suatu saat sedang memandang sebuah gunung, jangan lupa bahwa ada kehidupan di antara rerimbun hutan gemutan di atas sana.



Termasuk ketika malam terakhir kami di sana dan semua kelaparan dan tidak ada penjual makanan, sehingga kami harus merepotkan Ibu Yunis (ibunya Dewa). Malam-malam dimasakkan Nasi Liwet untuk Bacakan (Botraman kalau di Sukabumi), yang nggak pakai dipersilahkan lagi langsung disantap. Padahal si Ibu besok paginya harus berangkat pagi-pagi. Makasih banyak IbuYunis…, semoga Ibu dapat menantu terbaik untuk Dewa dan sayang sama Ibu seperti harapan Ibu…. Aamiin. (ssst…., sambil menemani Ibu Yunis masak nasi liwet, kami sempat ngerumpi ngalor ngidul, maklum… ibu-ibu.., hehehe….)


Aku tidak tahu, apakah ada kesempatan lainnya lagi kelak untuk datang kembali ke tempat itu dan bertemu dengan orang-orang baik di sana.


(keterangan foto :  ini sebelum berangkat berburu responden, diajak sarapan sama ibu-ibu penduduk desa Cileuksa yang baik dengan menu nasi beras merah, lalapan daun kedondong, leunca, ikan asin bakar, dan sambel terasi...., yummyyy....)





Malang, 18 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar