Jumat, 29 April 2022

 JUDUL :  DIA TIDAK PERNAH TAKUT BERBAGI



“Ini aku titip buat kamu belanja selama sebulan, dan tolong yang makan di warungmu kamu gratisin.  Niatkan sedekah. Berani nggak?”

Suatu ketika datang wapri padaku yang bunyinya begitu dari salah satu sahabat baikku. Dan ini bukan kali yang pertama dia bersedekah lewat aku. Dengan berbagai macam cara pula. 

Saat melaksanakan episode makan gratis di warungku itu, awalnya tidak terlalu mulus sebab yang datang untuk makan biasanya karyawan pabrik di kanan kiri warung, jadi mereka tidak mau digratisin.

“Aduh Bu, aku nggak enak nanti makannya kalau gratis. Aku bayar serelanya ya....”

“Aku bayar minumnya aja ya Bu.”

“Nggak mau kalau gratis Bu. Nanti sampeyan rugi, besok gak bisa jualan lagi, terus aku cari makan di mana.”

Banyak alasan yang mereka kemukakan walaupun sudah kujelaskan kalau ini adalah niat seseorang yang dititipkan padaku dan tidak akan selamanya, cuma satu bulan saja.

Tapi ada juga sih yang menerima dan santai saja menikmati makanannya.

Sampai satu saat, masih pagi, masih sekitar jam sepuluh. Warung belum ramai karena belum waktunya karyawan istirahat dan makan siang. Aku sedang mencuci beberapa peralatan yang tadi kupakai memasak di bak cuci piring dan menghadap tembok, memunggungi arah pintu masuk.

“Selamat pagi Bu, boleh minta waktunya sebentar?” tiba-tiba ada suara yang tepat di belakangku. Aku menengok, dan kulihat seorang gadis berdiri di sana.

“Ini produk kecantikan Bu, bisa memutihkan kulit dalam sekejab. Maaf...., bisa pinjam lengannya?” katanya sambil meraih tangan kananku dan langsung menggosoknya dengan krim apa aku tidak jelas.

Kubiarkan saja gadis itu melakukan aktifitasnya padahal kedua tanganku yang masih belepotan sabun cuci.

“Coba sekarang Ibu bandingkan tangan kanan dan kiri Ibu, ada perbedaan kan?” katanya sambil menunjukkan  tube sebesar tube pasta gigi berwarna oranye.

“Berapa harganya?”  Aku mencuci tangan dan berjalan masuk ke warung.

“Lima belas ribu. Boleh saya duduk sebentar Bu?” tanyanya.

“Oh iya, silahkan...” jawabku sambil membuka laci.

“Boleh minta air putih segelas Bu?”

“Ini..., silahkan.” Kataku sambil meletakkan segelas air putih di depannya. Kuperhatikan, wajahnya kelihatan capek dan agak pucat.

“Mbak mau makan?” tanyaku.

“Nggak usah Bu, cukup air putih ini saja. Trimakasih.” Tolaknya.

“Nggak apa-apa, gratis koq. Makan ya....” kataku.

“Koq gratis Bu?”

“Iya, sudah ada yang bayarin... Orangnya memang niat sedekah.” Jawabku.

“Kalau begitu mau Bu, trimakasih banyak.... Saya memang belum makan apapun dari pagi dan sudah jalan jauh tapi belum ada yang laku. Saya nggak punya uang.” Katanya sambil menunduk.

Alhamdulillah. Ya Allah, terimakasih. Akhirnya niat sedekah sahabatku benar-benar sampai ke tujuannya. Pada orang yang betul-betul membutuhkan. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah.

Kuambil hpku dan langsung menceritakan kejadian itu pada sahabatku. Diapun hanya membalas, “Alhamdulillah.”

Karena katanya, saat dia transfer padaku, ya saat itu pula dia sudah tidak hirau lagi dengan uang itu.

Hmmm, baiklah.

Pernah juga, sahabatku ini mengirim uang padaku dan bilang kalau ingin sedekah nasi di 4 hari jum’at.

“Terserah kamu bikin berapa tiap jum’at dan dikasih ke siapa, karena di tempatku susah cari orang yang mau terima sedekah nasi. Pokoknya uangnya segitu. Jangan lewat maghrib ya...” Katanya.

Akupun membagikan sedekah nasi itu pada tukang-tukang becak, pengemis, dan ke beberapa orang yang tampaknya membutuhkan seperti pedagang buah yang sudah lumayan renta dan mendorong dagangannya di atas sepeda tua,  pemulung, dan lain-lain.

Sahabatku ini adalah teman yang kukenal sejak lebih dari empat puluh tahun yang lalu, sejak kami masih SMP hingga kini kami masing-masing tinggal di kota yang berbeda.

Di saat senggang, aku dan dia sering ngobrol serta berdiskusi tentang apa saja. Mulai agama, bahasa, sampai issue sosial yang sedang trending topic. Dan itu bisa berlangsung lama, sampai tuntas.

Waktu aku sedang menumis daun pepaya, kukirim gambarnya ke sahabatku ini, “Aku tadi makan pakai ini, alhamdulillah sampai nambah lho. Kamu makan pakai apa tadi?” tanyaku.

“Dari tadi malam aku makan pepaya.” Jawabnya.

“Sembelitkah? Besok kamu bisa ngoceh lho...” ledekku.

“Duitku habis, tinggal recehan. Kemarin kukasihkan orang di bandara.”

“Ceritanya?” tanyaku.

Terus terang aku tidak heran mendengar dia bilang begitu. Dan aku percaya. Aku hanya ingin dengar cerita di baliknya.

“Kemarin aku pulang dinas, nunggu jemputan di ruang tunggu bandara. Terus, kulihat di deretan bangku seberangku ada sepasang orang tua. Mungkin sudah tujuh puluh atau delapan puluhan umurnya. Si Nenek tampak berkali-kali menghapus air mata dengan punggung tangannya, sementara si Kakek hanya duduk diam termanggu di sampingnya.”

“Terus?” aku mulai tertarik, walaupun aku sudah dapat menerka arahnya. Sudah biasa.

“Kudekati mereka dan kutanya, apa ada yang bisa kubantu. Kemudian, si Kakek bercerita kalau mereka habis kehilangan. Entah jatuh di mana atau dicopet. Yang jelas, waktu mereka turun dari pesawat, dompetnya sudah tidak ada. Sedangkan mereka naik pesawat itupun dibayari anaknya yang habis mereka tengok. Mereka tidak punya hp dan tidak tahu harus minta bantuan ke siapa. Tempat tinggal yang akan mereka tuju itu masih satu kota lagi. Lumayan jauh. Terus waktu kulihat dompetku isinya tinggal enam ratus lebih. Setelah kukurangi harga makanan kucingku, sisanya kuberikan semua ke mereka. Toh nanti aku pulang  sudah ada yang jemput.”

“Kamu nggak ngitung kalau kamu masih harus beli makan buatmu sendiri?” tanyaku.

“Nggak. Aku percaya Allah akan menghidupiku. In sya Allah aku tidak akan mati kelaparan. Alhamdulillah masih ada pepaya yang bisa kumakan.”

Cerita sejenis itu sangat sering terjadi, dan banyak macamnya. Tapi intinya sama, yaitu sahabatku ini tidak pernah berhitung untuk apa yang dia sedekahkan ke orang lain. Dia sangat sangat percaya pada Allah yang akan menjaganya.

Apakah sahabatku ini tidak punya keluarga?

Punya. Dia punya anak dan istri. Begitu juga orangtua, dia masih punya Ibu dan adik yang menjadi tanggungannya. Tapi dia sering bertugas di kota-kota yang berbeda. Jadi sahabatku ini tinggal sendiri di rantau.

Gaji bulanan sepenuhnya dia serahkan pada istrinya, sedangkan penghasilan lain dia berikan pada Ibu serta adiknya. Penghasilan yang lain lagi itu yang dia berikan sesuka hatinya ke siapapun yang membutuhkan.

Kalau orang lain yang kenal dia hanya luarnya saja, mungkin mereka akan bingung melihat penampakannya yang tidak punya apa-apa di saat rekan sejawatnya sudah bermobil dan tabungan di bank tidak berseri lagi. Mungkin juga mereka berpikir apakah dia terlalu boros dalam hidupnya?

Masya Allah. Sahabatku ini tidak pernah perduli apa pikiran orang tentang dia. “Nggak ada pengaruhnya padaku.” Begitu katanya.

Akupun yakin kalau tidak banyak orang yang tahu tentang kebiasaannya membagi-bagi duitnya sesuka hati itu. Karena dia amat jarang tampil di permukaan.

Kepada teman-teman juga begitu. Dia memberikan bantuannya tanpa pernah mencantumkan nama. Tiba-tiba transfer.

Contohnya nih.

“Si A kemarin bilang di group kalau dia butuh modal buat bikin kandang burung. Kasihan, sejak nggak kerja dia usaha apa aja.”salah seorang  temanku cerita.

“Terus?” aku memang jarang buka group yang isinya obrolan ngalor ngidul sampai ratusan itu. Biasanya langsung kudelete all.

“Tiba-tiba dia ada yang transfer. Tapi si A nggak mau cerita siapa yang transfer. Apa itu B ya? Atau C?  Atau D? Kan mereka yang biasanya suka bantuin teman-teman...” kata temanku itu. Sama sekali tidak terfikirkan oleh dia kalau sahabatku itulah yang mengirimkan bantuan. Selain penerima, mungkin teman lain tidak ada yang tahu kecuali aku.

Masih banyak cerita tentang sahabatku ini yang sangat tidak takut untuk berbagi karena dia percaya kalau Allah akan menjaganya. Mungkin bisa dibukukan jadi satu novel sendiri. Aku yakin di Bulan Ramadhanpun dia tidak menyia-nyiakan untuk tidak bersedekah.  Hidupnya memang berkah dan bermanfaat  buat orang lain. Aku saksinya.

 

 

Malang, 30 Maret 2022

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar